BerdayaNews.com, Jakarta — Suasana penuh syukur dan harapan memenuhi Krakatau Ballroom, Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara, saat Sidang Agung Gereja Katolik Indonesia (SAGKI) 2025 resmi dibuka. Dalam homilinya yang menyentuh hati, Ketua Konferensi Waligereja Indonesia (KWI), Mgr. Antonius Subianto Bunjamin, OSC, mengajak Gereja untuk kembali ke akar sinodalitas: mendengarkan.

“Bagaimana kita bisa berbicara dengan baik kalau kita belum mendengarkan?” ujarnya di hadapan 374 peserta SAGKI yang terdiri dari uskup, imam, biarawan, biarawati, dan umat awam. Tema besar tahun ini, “Berjalan Bersama sebagai Peziarah Pengharapan: Menjadi Gereja Sinodal yang Misioner untuk Perdamaian,” menjadi napas utama seluruh rangkaian kegiatan.

Menurut Mgr. Anton, Roh Kudus adalah pemeran utama dalam setiap proses sinodal. “Roh Kudus berbicara melalui kita semua—tanpa kecuali,” tegasnya. Ia menekankan kesetaraan seluruh peserta: “Semua peserta SAGKI itu sepadan. Setiap orang punya hak dan kewajiban yang sama untuk mendengarkan dan berbicara dengan kasih.”

Mengutip kata-kata pertama Paus Leo XIV, “Damai sejahtera bagi kamu semua,” Mgr. Anton mengingatkan pentingnya menjadi duta damai di tengah dunia yang penuh konflik. Gereja, katanya, dipanggil untuk membangun jembatan dengan siapa pun—terutama mereka yang menderita dan tersisih.

Baca juga :  Efektivitas Penegak Hukum dan Dukungan Sosial dalam Pemberantasan Korupsi Periode 2020–2025

Dalam bagian paling reflektif, Mgr. Anton menegaskan, “Hanya orang yang rendah hati bisa bermurah hati.” Ia mencontohkan Paus Fransiskus yang kerap berbagi meja dengan kaum miskin dan tunawisma. “Mereka mungkin tak bisa membalas secara materi, tapi secara spiritual, mereka menjadi berkat bagi Gereja.”

Suasana hening menyelimuti ruangan ketika ia bertanya dengan nada empati, “Apakah SAGKI akan membela kami? Peduli pada nasib kami?” Pertanyaan itu menjadi panggilan agar Gereja sungguh hadir bagi mereka yang tak diperhitungkan dalam kehidupan sosial, ekonomi, maupun politik.

Menjawab isu-isu aktual seperti Papua dan geotermal di NTT, Mgr. Anton menegaskan bahwa SAGKI terbuka untuk semua suara. “Tidak ada batasan. Semua hasil refleksi dari paroki dan keuskupan akan kita dalami bersama,” katanya.

Homili ditutup dengan ajakan lembut namun menggugah: “Mari kita bermurah hati seperti Bapa di Surga murah hati.” Dengan itu, Gereja Katolik Indonesia memulai perjalanan sebagai peziarah pengharapan, belajar kembali mendengarkan agar dapat berbicara dengan kasih, dan berjalan bersama menuju damai sejahtera hingga SAGKI berakhir pada 7 November 2025.fs