BerdayaNews.com, Indonesia — Perubahan besar tengah berlangsung di dunia pendidikan Indonesia. Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendikdasmen) melalui Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 menetapkan aturan baru mengenai penugasan guru sebagai kepala sekolah. Salah satu poin pentingnya adalah pembatasan masa jabatan kepala sekolah maksimal dua periode, masing-masing empat tahun.
Kebijakan ini bukan sekadar administrasi, melainkan upaya sistematis untuk memastikan adanya regenerasi kepemimpinan di sekolah. Selama bertahun-tahun, banyak kepala sekolah menjabat belasan tahun tanpa evaluasi menyeluruh, bahkan ada yang menjadikan posisi ini seperti “tahta pribadi”.
Mengapa Batas Jabatan Penting
Kepala sekolah adalah motor utama dalam menentukan arah pendidikan di tingkat satuan pendidikan. Ia bukan hanya manajer, tetapi juga pemimpin budaya sekolah. Jika seseorang terlalu lama menjabat, muncul risiko stagnasi, menurunnya semangat inovasi, dan dominasi yang bisa menghambat guru-guru lain berkembang.
Dengan sistem dua periode, pemerintah berusaha menciptakan kepemimpinan yang bergulir, dinamis, dan adaptif terhadap perubahan zaman. Hal ini sejalan dengan semangat Merdeka Belajar dan kebutuhan akan transformasi manajemen sekolah yang modern dan transparan.
Realita: Banyak Kepala Sekolah Masih Langgar Aturan
Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa aturan ini belum sepenuhnya dipatuhi.
Di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), ditemukan 68 kepala sekolah yang telah menjabat lebih dari delapan tahun.
Di Jombang, mekanisme pemberhentian kepala sekolah yang sudah melewati masa jabatan belum memiliki sistem evaluasi dan pemberitahuan yang jelas.
Sementara di beberapa daerah lain, praktik jual-beli jabatan kepala sekolah masih terjadi, memperlihatkan bahwa jabatan pendidikan kadang dijadikan “ladang transaksi” bukan pengabdian.
Semua ini menunjukkan bahwa aturan tanpa pengawasan yang kuat hanya menjadi formalitas.
Metode Penataan Bagi Kepala Sekolah yang Tidak Sesuai Aturan
Agar Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 tidak hanya menjadi dokumen normatif, pemerintah daerah dan dinas pendidikan harus segera menata kembali struktur jabatan kepala sekolah.
Berikut langkah-langkah yang dapat dan seharusnya dilakukan:
1. Pendataan dan Verifikasi Nasional
Semua kepala sekolah di daerah harus didata ulang melalui Data Pokok Pendidikan (Dapodik) atau sistem digital Kemendikdasmen. Data mencakup: tahun pertama menjabat, satuan pendidikan asal, dan hasil evaluasi kinerja.
Hasil pendataan ini menjadi dasar menentukan siapa saja yang telah melampaui masa dua periode.
2. Evaluasi Kinerja dan Rekomendasi Dinas Pendidikan
Kepala sekolah yang telah melewati delapan tahun masa jabatan harus dievaluasi kinerjanya secara menyeluruh. Bila masih berprestasi, dapat diberikan tugas baru sebagai pengawas sekolah, widyaiswara, atau jabatan fungsional lainnya, bukan memperpanjang jabatan yang sudah habis.
3. Rotasi dan Regenerasi Terencana
Kepala sekolah yang sudah dua periode harus digantikan oleh guru yang memenuhi syarat sertifikasi dan pelatihan calon kepala sekolah. Regenerasi harus berbasis meritokrasi, bukan kedekatan politik atau hubungan pribadi.
4. Sosialisasi dan Masa Transisi Maksimal Enam Bulan
Pemerintah daerah diberi waktu maksimal enam bulan sejak aturan berlaku untuk menyelesaikan penyesuaian jabatan. Sosialisasi wajib dilakukan ke seluruh sekolah agar tidak menimbulkan kesalahpahaman.
5. Sanksi Administratif bagi Dinas yang Lalai
Bila ditemukan kepala sekolah yang tetap menjabat tanpa dasar hukum setelah masa jabatan berakhir, kepala dinas pendidikan dan pengawas wilayah dapat dikenakan teguran tertulis atau penundaan insentif kinerja daerah.
6. Audit Publik dan Transparansi Mutasi
Setiap mutasi atau pergantian kepala sekolah sebaiknya dipublikasikan secara terbuka melalui situs resmi pemerintah daerah agar masyarakat bisa ikut mengawasi. Transparansi adalah obat terbaik melawan penyimpangan jabatan.
7. Pendidikan Butuh Pemimpin, Bukan Penguasa
Kepala sekolah bukan simbol kekuasaan, melainkan pelayan pendidikan. Jika posisi itu dijaga hanya untuk kepentingan pribadi, maka yang dirugikan bukan hanya guru, melainkan juga peserta didik.
Kebijakan baru ini seharusnya tidak dipandang sebagai ancaman, melainkan kesempatan memperbarui semangat pengabdian. Guru-guru potensial yang selama ini menunggu giliran memimpin akhirnya bisa mendapatkan kesempatan yang adil.
Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025 adalah langkah maju dalam reformasi manajemen pendidikan nasional. Namun keberhasilannya sangat bergantung pada keberanian pemerintah daerah untuk menegakkan aturan, bukan menundanya dengan alasan “stabilitas jabatan”.
Menegakkan aturan ini bukan sekadar urusan administrasi, tapi komitmen moral untuk menjaga integritas dunia pendidikan. Sudah saatnya kita memastikan bahwa setiap kepala sekolah menjabat bukan karena lama berkuasa, tetapi karena terus berprestasi dan memberi teladan bagi masa depan bangsa.fs
Oleh: Ir. Fillan Samosir
Rubrik: Opini Pendidikan


