Oleh: Dewan Redaksi dan Hukum berdayanews.com

BerdayaNews, Jakarta – Keputusan pembebasan bersyarat yang diberikan kepada Setya Novanto (Setnov), terpidana kasus korupsi pengadaan e-KTP, kini menghadapi gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara Jakarta (PTUN Jakarta). Gugatan diajukan oleh dua organisasi masyarakat yakni Aliansi Rakyat untuk Keadilan dan Kesejahteraan Indonesia (ARRUKI) dan Lembaga Pengawasan Pengawalan dan Penegakan Hukum Indonesia (LP3HI) dengan nomor perkara 357/G/2025/PTUN.JKT.
Menurut kuasa hukumnya, Boyamin Saiman, alasan gugatan adalah karena “bebas bersyarat tidak bisa diberikan kepada narapidana yang masih tersangkut perkara lain”. Mereka menyebut Setnov masih terkait dengan perkara TPPU (tindak pidana pencucian uang) yang tengah ditangani di Bareskrim Polri.
Sementara itu, status Setnov: ia sebelumnya diputus bersalah dalam kasus korupsi e-KTP, divonis 15 tahun penjara pada April 2018. Setelah mengajukan peninjauan kembali (PK) yang kemudian dikabulkan oleh Mahkamah Agung (MA) pada Juni 2025, maka pembebasan bersyarat diberikan pada 16 Agustus 2025 setelah ia dianggap telah menjalani dua-pertiga masa pidana. 
Gugatan ini merupakan upaya untuk membatalkan keputusan bebas bersyarat tersebut dan meminta agar Setnov kembali menjalani sisa hukuman apabila gugatan dikabulkan.

Baca juga :  GURU BERLITERASI

Analisis Hukum

1. Dasar Hukum Pembebasan Bersyarat

Pembebasan bersyarat bagi narapidana di Indonesia diatur dalam beberapa norma, antara lain:

  • Undang‑Undang Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (“UU Pemasyarakatan”) — misalnya Pasal 10 ayat 2 yang menyebut bahwa pembebasan bersyarat dapat diberikan apabila narapidana telah menjalani minimal dua-pertiga masa pidana dan telah menunjukkan perilaku baik.

  • Ketentuan administratif terkait keputusan pembebasan bersyarat yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (Menteri/Dirjen Pemasyarakatan) serta lembaga pemasyarakatan tempat napi menjalani hukuman.
    Dengan demikian, secara formal pihak pemasyarakatan menyebut bahwa Setnov telah memenuhi syarat dua-pertiga masa pidana dan penilaian perilaku baik.

2. Keberatan terhadap Pembebasan Bersyarat

Gugatan yang diajukan fokus pada beberapa poin:

  • Keberadaan proses perkara lain yang masih berjalan terhadap terpidana (yaitu perkara TPPU). Penggugat menyatakan bahwa meskipun ia telah divonis dalam satu perkara, fakta bahwa terdapat proses perkara lain belum selesai seharusnya menjadi faktor yang mencegah pembebasan bersyarat.

  • Prinsip akses publik dan transparansi dalam pemberian hak pembebasan bersyarat. Penggugat menilai keputusan tersebut “cacat hukum dan melukai rasa keadilan masyarakat”.

  • Pertanyaan keadilan substantif: Apakah pemberian bebas bersyarat kepada koruptor besar dengan kerugian negara signifikan sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi dan efek jera?

Baca juga :  Permendikdasmen Nomor 7 Tahun 2025: Saatnya Tegas Menegakkan Batas Masa Jabatan Kepala Sekolah

3. Kewenangan PTUN

Perlu dicatat bahwa PTUN memiliki kewenangan untuk menguji keputusan administratif publik yang dikeluarkan pejabat tata usaha negara. Dalam kasus ini, keputusan pembebasan bersyarat (SK Menteri/Dirjen) dianggap sebagai keputusan administratif yang dapat digugat ke PTUN. Ini sesuai dengan praktik bahwa hak-hak maupun keputusan yang muncul dari lembaga publik dapat diuji di PTUN jika dianggap melanggar asas umum pemerintahan yang baik.

4. Pertimbangan Yuridis Penting

Beberapa hal yang akan menjadi fokus pertimbangan hakim PTUN antara lain:

  • Apakah syarat formal telah dipenuhi (dua-pertiga masa pidana, perilaku baik, pembinaan, dsb) oleh terpidana.

  • Apakah terdapat alasan normatif yang menghalangi pembebasan bersyarat — misalnya ketika terdapat perkara lain yang belum selesai hukumannya atau narapidana pernah melanggar disiplin lapas.

  • Apakah prosedur administratif pemberian bebas bersyarat dilakukan secara transparan dan tidak diskriminatif.

  • Apakah keputusan tersebut tidak melanggar asas keadilan, kepastian hukum, dan akuntabilitas publik.

5. Implikasi Putusan

  • Jika PTUN membatalkan keputusan bebas bersyarat, maka terpidana (Setnov) dapat kembali menjalani sisa masa pidana di penjara.

  • Jika PTUN menolak gugatan, maka keputusan bebas bersyarat tetap berlaku, dan bisa menjadi preseden bagi pemberian hak serupa dalam kasus korupsi besar.

  • Secara lebih luas, putusan ini akan berdampak pada persepsi publik terhadap mekanisme pembebasan bersyarat, khususnya terhadap narapidana kasus korupsi dan bagaimana sistem pemasyarakatan menghadapi keinginan masyarakat akan keadilan.

Baca juga :  Nepotisme di Daerah dan Bahaya Birokrasi yang Dikuasai Keluarga dan Tantangan Bagi Penegak Hukum

Catatan & Sudut Pandang

  • Masyarakat menganggap kasus ini sebagai “litmus test” bagi komitmen negara dalam menangani korupsi — bukan hanya menghukum, tapi juga memastikan efek jera dan keadilan substantif.

  • Di satu sisi, terdapat argumen bahwa hak pembebasan bersyarat harus tetap ditegakkan sesuai norma agar sistem pemasyarakatan juga adil terhadap semua narapidana yang memenuhi syarat.

  • Perlu kehati-hatian agar proses administratif tidak menjadi sumber kekurangan dalam penegakan hukum; ketidaktransparanan atau perlakuan tidak adil bisa memperburuk kepercayaan publik terhadap lembaga pemasyarakatan dan penegakan korupsi.fs