BerdayaNews.com, Jakarta — Pemerintah akan memberlakukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) baru mulai tahun 2026, bersamaan dengan efektifnya KUHP nasional. Perubahan ini bukan sekadar teknis hukum, melainkan mengubah wajah relasi antara negara dan warga yang berhadapan dengan hukum.

Selama puluhan tahun, KUHAP lama kerap dikritik publik karena dianggap lebih melindungi kewenangan aparat penegak hukum (APH) ketimbang hak warga. KUHAP baru hadir dengan janji besar: memperkuat perlindungan HAM, membatasi kesewenang-wenangan, dan memberi kepastian hukum. Namun, apa saja perbedaan paling urgen bagi masyarakat umum?

Dari Represif ke Protektif: Perubahan Arah Hukum Acara

Dalam KUHAP lama, proses pidana sering dimaknai sebagai alat penindakan. Penangkapan dan penahanan kerap menjadi respons awal, bahkan sebelum konstruksi perkara benar-benar matang. Akibatnya, tidak sedikit warga yang sudah “dihukum” secara sosial meski belum tentu bersalah secara hukum.

KUHAP baru mengubah arah tersebut. Penahanan ditegaskan sebagai upaya terakhir, bukan kebiasaan. Negara dituntut lebih berhati-hati dalam merampas kemerdekaan seseorang. Bagi masyarakat, ini berarti perlindungan lebih kuat dari risiko salah tangkap dan kriminalisasi.

Baca juga :  Rugikan Negara Rp240 Miliar, KPK Tahan Komisaris Utama PT IAE dalam Kasus Korupsi Gas PGN

Penahanan Lebih Ketat, Kebebasan Lebih Dijaga

Salah satu kritik terbesar terhadap KUHAP lama adalah longgarnya alasan penahanan. Dalih “dikhawatirkan melarikan diri” atau “menghilangkan barang bukti” sering digunakan tanpa pengujian serius.

KUHAP baru memperketat hal ini. Penahanan harus proporsional, rasional, dan dapat diuji secara hukum. Alternatif selain penahanan diperluas, sehingga warga tidak otomatis masuk sel hanya karena laporan polisi.

Bagi masyarakat awam, perubahan ini sangat signifikan: kebebasan tidak lagi mudah direnggut hanya karena dugaan awal.

Tidak Semua Masalah Harus Berakhir di Penjara

KUHAP lama hampir selalu mendorong penyelesaian perkara melalui pengadilan dan pemidanaan. Akibatnya, perkara kecil, konflik sosial, dan kesalahan ringan sering berujung pada pidana penjara yang justru merusak masa depan pelaku tanpa memulihkan korban.

KUHAP baru mengakui dan melembagakan keadilan restoratif. Dalam perkara tertentu, penyelesaian dapat dilakukan melalui perdamaian, ganti rugi, dan pemulihan hubungan sosial.

Bagi masyarakat, ini berarti hukum tidak lagi sekadar menghukum, tetapi “mencari solusi yang adil dan manusiawi”.

Baca juga :  Wakil Wali Kota Bekasi Dukung Penguatan Sinergi Pemerintah Daerah dan Kejaksaan

Berkas Bolak-Balik dan Proses Berlarut Mulai Dipangkas

Fenomena berkas perkara bolak-balik antara penyidik dan jaksa (P-19 berulang) menjadi keluhan lama publik. Proses panjang ini sering membuka ruang permainan perkara dan merugikan semua pihak.

KUHAP baru menuntut koordinasi sejak awal antara penyidik dan penuntut umum, dengan standar kualitas perkara yang lebih jelas. Prinsip peradilan cepat dan sederhana diperkuat.

Dampaknya bagi masyarakat jelas: proses hukum lebih singkat, lebih pasti, dan lebih transparan.

Hak Bantuan Hukum Tidak Lagi Sekadar Formalitas

Dalam praktik KUHAP lama, hak didampingi penasihat hukum sering hanya tertulis di atas kertas. Banyak warga, terutama yang tidak mampu, menjalani pemeriksaan tanpa pendampingan memadai.

KUHAP baru menegaskan bahwa pendampingan hukum sejak awal adalah hak nyata, bukan formalitas. Pemeriksaan yang mengabaikan hak ini berpotensi dianggap cacat prosedur.

Bagi masyarakat kecil, perubahan ini krusial: tidak lagi sendirian menghadapi aparat dan proses hukum yang rumit.

Menuju Proses Hukum yang Lebih Terbuka dan Digital

KUHAP lama masih bergantung pada sistem manual yang tertutup dan sulit diawasi publik. KUHAP baru mendorong Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi, sehingga proses hukum lebih transparan dan terdokumentasi.

Baca juga :  DPP LSM Rakyat Indonesia Berdaya Imbau Sekolah Kelola Dana BOS Secara Transparan dan Sesuai Aturan Hukum

Bagi masyarakat, ini membuka peluang pengawasan publik yang lebih luas dan menekan praktik gelap dalam penanganan perkara.

Catatan Kritis: Ujian Ada pada Aparat, Bukan Aturan

Secara normatif, KUHAP baru memberi harapan besar bagi masyarakat. Namun publik belajar dari pengalaman: aturan bagus tidak selalu berarti praktik yang adil. Tanpa perubahan budaya aparat, pengawasan ketat, dan keberanian menindak pelanggaran etik, KUHAP baru berisiko menjadi wajah baru dari masalah lama.

Bagi warga, satu hal menjadi kunci: memahami hak-hak dalam KUHAP baru agar tidak mudah dikorbankan oleh proses hukum.

Jadi KUHAP baru adalah momentum penting memperbaiki relasi negara dan rakyat dalam penegakan hukum. Jika dijalankan konsisten, hukum pidana tidak lagi menjadi alat menakutkan, melainkan instrumen keadilan yang melindungi warga.

Namun jika gagal diimplementasikan, publik berhak bertanya: untuk siapa sebenarnya hukum itu dibuat? fs