BerdayaNews.com, Jakarta — Jaksa Agung Republik Indonesia ST Burhanuddin menghadiri Pertemuan Sinergitas dan Persamaan Persepsi antara Kejaksaan RI dan Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) dalam rangka menyongsong pemberlakuan KUHP dan KUHAP baru pada awal 2026. Pertemuan yang dihadiri Kapolri Listyo Sigit Prabowo ini berlangsung pada 16 Desember 2025 di Markas Besar Polri.

Di balik agenda resmi penguatan sinergi, pertemuan ini sesungguhnya menjadi refleksi atas berbagai kelemahan klasik aparat penegak hukum (APH) yang selama ini kerap dikeluhkan publik dan menjadi sumber ketidakpastian hukum.

Catatan Kritis: Kelemahan Polri dan Kejaksaan

Selama bertahun-tahun, praktik penegakan hukum di Indonesia tidak jarang diwarnai persoalan struktural dan kultural, antara lain:

Di tingkat Kepolisian, publik kerap menyoroti:

  • Kualitas penyidikan yang belum seragam, mulai dari lemahnya konstruksi perkara hingga berkas yang berulang kali dikembalikan (P-19), memperpanjang proses dan membuka ruang transaksional.

  • Pendekatan represif yang dominan, sementara prinsip perlindungan HAM dan keadilan restoratif sering kali belum menjadi arus utama.

  • Ketergantungan pada pengakuan dan alat bukti konvensional, yang belum sepenuhnya adaptif terhadap kejahatan berbasis teknologi dan keuangan modern.

Baca juga :  Dari Tiom, Melihat Dunia Lewat Buku, Menggerakkan Literasi di Kota di Atas Awan

Sementara di tubuh Kejaksaan, kritik publik tak kalah tajam:

  • Inkonsistensi penuntutan, termasuk perbedaan tuntutan dalam perkara sejenis yang memunculkan persepsi ketidakadilan.

  • Minimnya koreksi dini terhadap perkara lemah, sehingga kasus tetap dilimpahkan ke pengadilan meski berisiko bebas demi hukum.

  • Belum optimalnya peran jaksa sebagai dominus litis dalam mengendalikan kualitas perkara sejak tahap awal penyidikan.

Kondisi tersebut kerap berujung pada ketidakpastian hukum, kriminalisasi, hingga menurunnya kepercayaan publik terhadap APH.

KUHP–KUHAP Baru: Koreksi atas Praktik Lama

Dalam sambutannya, Jaksa Agung menegaskan bahwa KUHP dan KUHAP baru bukan sekadar perubahan normatif, melainkan koreksi atas praktik penegakan hukum yang selama ini dinilai kaku, sektoral, dan kurang berorientasi pada keadilan substantif.

“Ini bukan hanya soal perubahan pasal dan redaksi, tetapi pembaruan paradigma penegakan hukum pidana yang lebih modern, humanis, dan berkeadilan,” ujar Jaksa Agung.

Ia menekankan bahwa tanpa kesamaan persepsi, pasal-pasal baru justru berpotensi memperlebar tafsir dan konflik kewenangan antar APH, sebagaimana yang kerap terjadi dalam rezim hukum lama.

Baca juga :  Buka Business Matching Bekasi, Tri Adhianto Dorong Ekonomi Tumbuh, Pengangguran Turun

Tiga Titik Rawan yang Selama Ini Bermasalah

Pertemuan ini menyoroti tiga titik rawan yang selama ini menjadi sumber friksi dalam penegakan hukum:

  1. Asas dan prinsip dasar (HAM, keadilan restoratif, due process of law) yang sering diabaikan demi target penanganan perkara.

  2. Pasal multitafsir, yang selama ini dimanfaatkan secara berbeda oleh penyidik dan penuntut umum.

  3. Koordinasi dalam sistem peradilan pidana terpadu, yang kerap terhambat ego sektoral dan lemahnya pertukaran data.

MoU sebagai Upaya Menutup Celah Lama

Sebagai tindak lanjut, Kejaksaan dan Polri menandatangani Nota Kesepahaman dan Perjanjian Kerja Sama, mencakup penyelarasan SOP, standar kualitas berkas perkara, pertukaran data dan informasi, dukungan pengamanan, serta peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan bersama.

Langkah ini juga diintegrasikan ke dalam penyusunan RPP Pelaksanaan KUHAP, RPP Mekanisme Keadilan Restoratif, dan RPP Sistem Peradilan Pidana Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI)—sebuah pengakuan implisit bahwa sistem lama belum mampu menjawab kompleksitas kejahatan modern.

Ujian Sesungguhnya Ada pada Implementasi

Menutup sambutannya, Jaksa Agung menyampaikan pesan reflektif yang sekaligus menjadi peringatan bagi seluruh APH.

“Keadilan bukan hanya tertulis di undang-undang, tetapi hidup di hati nurani penegak hukumnya.”

Bagi publik, pesan ini menegaskan satu hal: MoU dan sinergitas hanya akan bermakna jika disertai keberanian melakukan koreksi internal, disiplin penegakan etik, dan konsistensi implementasi KUHP–KUHAP baru. Tanpa itu, pembaruan hukum berisiko menjadi sekadar slogan, sementara praktik lama terus berulang.

Baca juga :  Presiden Prabowo Bahas Isu Strategis dan Bawa Lima Hasil Nyata dari Australia: Hubungan Indonesia–Australia Semakin Erat dan Saling Menguntungkan

BerdayaNews