Pelajaran Pahit dari OTT Bupati Bekasi, 18 Desember 2025

BerdayaNews — Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Ade Kuswara Kunang pada 18 Desember 2025 bukan sekadar peristiwa hukum. Ia adalah cermin retak dari tata kelola yang seharusnya menjaga kepentingan publik. Ketika proses pengawasan dan pengadaan—bahkan audit—diduga diperlakukan sebagai komoditas, maka yang pertama kali dirugikan adalah kepercayaan warga.

Audit Bukan Alat Tawar

Audit dan pengadaan publik dirancang sebagai pagar: mencegah penyimpangan, memastikan uang rakyat dibelanjakan tepat sasaran. Begitu pagar itu “dinegosiasikan”, fungsi pengawasan runtuh. Dugaan ijon proyek dan aliran uang dalam perkara Bekasi—apa pun hasil akhirnya di pengadilan—mengirim pesan berbahaya: prosedur bisa ditawar, integritas bisa dibeli. Ini bukan sekadar pelanggaran etik; ini ancaman langsung pada akuntabilitas.

Korupsi Administratif yang Senyap

Kasus ini mengingatkan bahwa korupsi tidak selalu berisik seperti proyek mangkrak. Ia bisa bersembunyi rapi di balik tanda tangan, rapat, dan laporan. Korupsi administratif lebih senyap, tetapi dampaknya sistemik: kompetisi pengadaan timpang, kualitas pekerjaan menurun, dan biaya publik membengkak tanpa jejak kasatmata.

Baca juga :  KPK Sita 22 Kendaraan dan Uang Immanuel Ebenezer: Penyitaan Tercepat dalam Sejarah OTT

Publik Membayar Mahal

Setiap rupiah yang “diamankan” lewat praktik ijon adalah rupiah yang memiskinkan layanan. Jalan, sekolah, dan layanan kesehatan dibangun dengan standar kompromi. Pada akhirnya, warga Kabupaten Bekasi membayar dua kali: melalui pajak dan melalui kualitas layanan yang tergerus.

Penegakan Hukum dan Tanggung Jawab Politik

OTT menegaskan satu hal: penegakan hukum masih bekerja. Namun keadilan tidak berhenti di borgol. Tanggung jawab politik harus menyusul—perbaikan sistem, transparansi pengadaan, dan perlindungan pelapor. Tanpa itu, OTT akan berulang, sementara akar masalah dibiarkan tumbuh.

Apa yang Harus Dibetulkan

Redaksi memandang setidaknya ada lima langkah mendesak:

  1. Transparansi pengadaan end-to-end (e-procurement yang diaudit independen).

  2. Larangan keras ijon proyek dengan sanksi tegas dan cepat.

  3. Penguatan APIP & audit berbasis risiko, bukan sekadar kepatuhan.

  4. Pelaporan publik real-time atas proyek strategis.

  5. Akuntabilitas pimpinan daerah, termasuk evaluasi etik dan politik.

Opini ini bukan vonis. Praduga tak bersalah tetap dijunjung. Namun pesan moralnya terang: ketika audit dijual, publik dirugikan. Bekasi—dan daerah lain—berhak atas pemerintahan yang tidak menawar integritas. Penegakan hukum memberi sinyal; reformasi sistem menentukan apakah sinyal itu akan mengubah arah, atau sekadar menjadi jeda sebelum skandal berikutnya. fs

Baca juga :  Ratusan Ribu Warga Sumatra Masih Terisolasi, Sejumlah Daerah Belum Tersentuh Bantuan

—Redaksi BerdayaNews