BerdayaNews.com, Bandung Barat — Temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI mengungkap persoalan serius dalam pengelolaan tanah Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) perumahan di Kabupaten Bandung Barat. Aset bernilai ratusan miliar rupiah tercatat sebagai milik daerah, namun secara faktual dikuasai pihak lain, tidak bersertifikat, dan belum diserahkan pengembang.

Latar Belakang Permasalahan

Persoalan penatausahaan tanah Prasarana, Sarana, dan Utilitas (PSU) perumahan di Kabupaten Bandung Barat bukanlah masalah yang muncul secara tiba-tiba. Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI atas LKPD Kabupaten Bandung Barat Tahun Anggaran 2022 dan 2023, masalah ini telah berlangsung lintas tahun dan menunjukkan pola yang berulang tanpa penyelesaian memadai.

BPK mencatat bahwa sebagian tanah PSU:

  • telah secara administratif diakui sebagai aset daerah,

  • namun secara faktual dikuasai pihak lain,

  • tidak dilengkapi dokumen kepemilikan yang sah,

  • serta tidak seluruhnya tercatat dalam sistem inventarisasi aset daerah (KIB).

Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan serius antara pencatatan akuntansi dan penguasaan hukum serta fisik aset, yang berpotensi menghilangkan hak dan kendali Pemerintah Daerah atas tanah PSU bernilai besar.

Baca juga :  Ratu Máxima Tiba di Indonesia, Bawa Misi Keuangan Sehat yang Menggerakkan Hati

Fakta Kunci

  • ±100 perumahan belum menyerahkan PSU
  • Tanah PSU digunakan oleh KONI, Polsek, dan yayasan tanpa perjanjian
  • 43 bidang tanah tanpa Akta Pelepasan Hak
  • Aset tidak tercatat dalam KIB dan rawan hilang

Analisis

LSM RIB Anti Korupsi menilai kondisi ini sebagai pembiaran aset negara yang berpotensi memenuhi unsur Pasal 2 dan 3 UU Tipikor. Kerugian negara diperkirakan mencapai Rp323–782 miliar.

Tuntutan Publik

  • Penyelidikan oleh Kejaksaan/KPK
  • Audit investigatif
  • Pengamanan aset
  • Pertanggungjawaban pejabat terkait

LSM RIB Anti Korupsi menilai, selaku undur masyarakat yang peduli dengan berbagai permasalahan aset negara di berbagai daerah dan pemerintahan merujuk langsung pada temuan BPK, bahwa pembiaran aset PSU terjadi bukan karena satu faktor tunggal, melainkan akibat akumulasi kelemahan tata kelola, antara lain:

  1. Lemahnya pengawasan internal pengelolaan aset daerah
    BPK secara eksplisit menyebutkan bahwa Pejabat Penatausahaan Barang dan OPD pengguna barang belum optimal dalam melakukan pengamanan administrasi, fisik, dan hukum atas tanah PSU.

  2. Tidak adanya tindakan tegas terhadap pengembang perumahan
    Meskipun terdapat ±100 perumahan yang telah teridentifikasi namun belum menyerahkan PSU, Pemerintah Daerah tidak segera melakukan langkah penertiban atau perolehan aset sesuai ketentuan, sehingga kewajiban pengembang berlarut-larut tanpa sanksi efektif.

  3. Pembiaran penguasaan tanah oleh pihak ketiga
    Tanah PSU yang digunakan oleh pihak lain, termasuk untuk bangunan permanen, dibiarkan berlangsung tanpa perjanjian pemanfaatan barang milik daerah, yang secara hukum seharusnya menjadi prasyarat mutlak.

  4. Administrasi aset yang tidak tertib dan tidak terintegrasi
    BAST penyerahan PSU tidak memuat rincian dan nilai per bidang, mengakibatkan aset:

    • tidak dapat dicatat ke KIB,

    • tidak dapat diamankan secara hukum,

    • dan rentan diklaim oleh pihak lain.

  5. Minimnya tindak lanjut atas rekomendasi BPK
    Fakta bahwa temuan serupa kembali muncul pada tahun berikutnya menunjukkan bahwa rekomendasi BPK belum dijalankan secara konsisten dan tuntas, sehingga risiko kerugian negara semakin membesar.

Baca juga :  BPK Ungkap Carut-Marut Aset PSU Kabupaten Cirebon, Potensi Kerugian Negara Tembus Rp125 Miliar Lebih

Analisis Publik

Dalam konteks pengelolaan keuangan dan aset negara, pembiaran yang berlangsung lama dan diketahui oleh pejabat berwenang tidak dapat lagi dipandang sebagai sekadar kesalahan administratif biasa. Ketika aset bernilai ratusan miliar rupiah:

  • tidak diamankan,

  • tidak ditertibkan,

  • dan dibiarkan digunakan pihak lain,

maka negara berada dalam posisi dirugikan secara nyata maupun potensial.

Oleh karena itu, pengungkapan kasus ini kepada publik dan aparat penegak hukum merupakan bagian dari kontrol sosial dan upaya penyelamatan aset daerah, bukan semata-mata tudingan personal terhadap pihak tertentu.

Penegasan Sikap

LSM RIB Anti Korupsi menegaskan bahwa:

  • Seluruh informasi yang disampaikan bersumber dari temuan resmi BPK;

  • Penilaian dilakukan dalam kerangka kepentingan publik dan akuntabilitas pemerintahan;

  • Penetapan ada atau tidaknya tindak pidana sepenuhnya merupakan kewenangan aparat penegak hukum.

Kasus ini menjadi ujian komitmen penegakan hukum dan tata kelola aset daerah. Publik berhak mengetahui dan negara wajib hadir melindungi kekayaan daerah. fs