BerdayaNews.com, Jakarta — Fenomena pejabat tinggi yang kian sering turun langsung ke lapangan—mulai dari Presiden, menteri, gubernur hingga bupati/wali kota—dianggap sebagai gejala ketidakpercayaan pemimpin terhadap laporan birokrasi di bawahnya. Para ahli menilai praktik ini menunjukkan bahwa tata kelola pemerintahan Indonesia masih jauh dari standar profesional, transparan, dan berbasis data.

Kritik tersebut menguat seiring maraknya temuan laporan ABS (Asal Bapak Senang), yakni laporan yang dibuat indah namun tidak sesuai kenyataan di lapangan.

Pemimpin Turun Lapangan Karena Birokrasi Tidak Dapat Dipercaya

Menurut Dr. Ratna Prasetyo, pakar administrasi publik Universitas Nusantara, maraknya pejabat turun ke lapangan menandakan kegagalan sistem monitoring internal pemerintah.

“Di negara dengan birokrasi profesional, presiden atau menteri tidak perlu mengecek harga cabai atau memantau proyek fisik setiap minggu. Kebiasaan blusukan ini bukan hanya soal kepedulian, tetapi juga tanda bahwa laporan bawahannya tidak dipercaya,” ujarnya.

Ratna menilai bahwa ketergantungan pada inspeksi langsung muncul karena struktur birokrasi tidak memberikan data akurat dan tidak mampu mengidentifikasi masalah secara mandiri.

Baca juga :  Kemenhut Tindak 11 Entitas Usaha Diduga Terlibat Kerusakan Hutan Pemicu Banjir di Sumut

Budaya ABS Dianggap Sudah Sistemik

Sementara itu, Prof. Made Anwar, akademisi kebijakan publik dari Institut Pemerintahan Mandiri, menilai bahwa budaya laporan ABS merupakan penyakit lama yang tidak kunjung diberantas.

“Laporan ABS itu bukan perilaku individu, melainkan budaya sistemik. Bawahan takut menyampaikan yang buruk, atasan lebih suka mendengar hal-hal baik karena berkaitan dengan citra politik. Jadilah kebenaran menjadi musuh bersama,” kata Made.

Menurutnya, selama tidak ada sanksi disiplin yang tegas dan promosi jabatan masih berorientasi loyalitas politik, budaya ABS akan terus hidup.

Pengamat: Politik Figur Melemahkan Institusi

Pengamat politik dan pemerintahan, Samsir Halim, menilai seringnya pejabat bekerja di lapangan justru mengindikasikan bahwa kekuatan institusi sedang melemah.

“Politik kita masih bertumpu pada figur, bukan sistem. Pemimpin ingin terlihat hadir dan aktif, sementara instansi teknis gagal menjalankan tugasnya dengan mandiri. Ini berbahaya, karena negara berjalan di atas panggung politik, bukan pada kekuatan institusi,” tegas Samsir.

Samsir menambahkan bahwa blusukan mudah dijadikan komoditas pencitraan, terutama menjelang momentum politik penting.

Baca juga :  Belanja Hibah Karawang TA 2023 Bermasalah: BPK Temukan Kerugian Negara Rp390,6 Juta, LSM Layangkan Somasi Terakhir

Pengawasan Lemah dan Minim Sanksi Jadi Akar Masalah

Menurut data sejumlah lembaga pengawasan internal, banyak pelanggaran administrasi hanya berujung pada teguran ringan atau pembinaan. Hal ini membuat manipulasi laporan nyaris tidak memiliki konsekuensi.

Dr. Yulia Hartono, peneliti tata kelola publik, menegaskan hal serupa.

“Masalah kita ada pada enforcement. Selama memanipulasi laporan tidak menimbulkan risiko serius, maka perilaku itu akan dianggap normal. Reformasi birokrasi kita mandek karena tidak ada keberanian untuk menerapkan sanksi tegas,” jelasnya.

Reformasi Birokrasi Mendesak Dilakukan

Para ahli sepakat bahwa reformasi birokrasi harus dilakukan secara sistemik, bukan hanya dalam bentuk instruksi politik atau kunjungan lapangan.

Langkah yang disarankan meliputi:

  • penguatan APIP dan inspektorat daerah,
  • sistem monitoring berbasis data dan teknologi,
  • rekrutmen dan promosi berbasis merit,
  • perlindungan bagi ASN yang melaporkan masalah secara jujur,
  • sanksi yang tegas bagi pemalsuan laporan.

Prof. Made Anwar menekankan,

“Kita membutuhkan revolusi integritas. Pemerintah harus membangun sistem yang tetap berjalan meski pejabat tidak hadir. Selama negara bergantung pada inspeksi pemimpin, selama itu pula birokrasi tidak akan dewasa.”

Negara Harus Berdiri di Atas Sistem, Bukan Figur

Fenomena pejabat turun langsung ke lapangan dan budaya laporan ABS mencerminkan kegagalan memperkuat institusi. Para ahli menilai Indonesia memerlukan transformasi serius agar pemerintahan dapat berjalan secara profesional, transparan, dan berbasis data—bukan berbasis pencitraan dan laporan yang dipoles.

Baca juga :  Kadistrik Bugukgona, Wanti Wakerkwa Sikapi Pemalangan dan Serahkan Bantuan Dana Sosial ke 13 Kampung

Tanpa reformasi mendalam, pemerintahan akan terus dikelola seperti panggung politik, sementara persoalan struktural dibiarkan hidup dalam diam.fs