BerdayaNews.com, Papua — Di pegunungan tengah Papua, di antara honai yang mengepulkan asap pagi dan hutan yang menyimpan cerita nenek moyang, terdapat sebuah warisan budaya yang tidak hanya dipakai, tetapi dipeluk dan menghidupi: Noken Yumonggok milik perempuan Lani.
Bagi banyak perempuan Papua, noken adalah tas.
Namun bagi perempuan Lani — noken adalah rahim kedua, tempat anak-anak dibesarkan dalam kehangatan, dilindungi oleh anyaman kasih seorang ibu dan doa leluhur.
Dan pada peringatan Hari Noken, 4 Desember 2025, gema pesan itu kembali menggema:
“Selamatkan noken, selamatkan identitas.”
Lebih dari Tas: Noken Lani adalah Ingatan Leluhur yang Ditenun dengan Kasih
Noken Lani, atau Yumonggok, dibuat bukan sekadar untuk membawa hasil kebun. Noken adalah bagian dari tubuh, bagian dari hidup, bagian dari masa depan.
Perempuan Lani menggunakannya untuk:
-
membawa sayur, ubi, keladi, dan hasil bumi;
-
menyimpan barang kebutuhan keluarga;
-
dan yang paling sakral: menggendong bayi.
Bayi Lani tumbuh bukan hanya dalam pelukan ibunya, tetapi juga dalam pelukan noken, yang bagian dalamnya dilapisi daun Papak Engga dan Yalingga — selimut alami yang melambangkan kesuburan dan kehidupan.
“Saya dibesarkan dalam noken mama saya,” tulis Angginak Sepi Wanimbo, mengenang masa kecilnya dalam kantong hangat yang kini menjadi simbol nasional Papua. “Itu adalah kehormatan bagi seorang anak.”
Dari Hutan ke Kehidupan: Bahan Noken dan Filosofinya
Bahan noken bukan sembarang serat. Pembuatannya mengandung ritual, penghayatan, dan pilihan bahan yang penuh takzim.
Noken Lani dibuat dari:
-
kulit kayu pohon Kumuligi atau Waliya yang hanya dipetik dengan tata cara adat,
-
akar kelapa hutan muda yang belum tertanam dan masih lentur,
-
serat khusus yang dipilih halus untuk menggendong bayi — sebagai bentuk penghormatan orang tua kepada kehidupan.
Di balik setiap simpul, ada doa.
Di balik setiap ayunan noken, ada harapan.
Inilah yang menjadikan noken Lani bukan produk, tetapi warisan spiritual.
Itulah bentuk kehormatan orang tua terhadap anak – anak, termasuk saya. Mengingat sikap orang tua ini, saya merasa sangat berhutang budi kepada mamaku yang tercinta sudah pergi jauh disana di alam berbeda yang sudah di panggil oleh TUHAN pada tanggal, 12 September 2020. Saya bangga karena saya di lahirkan dan dibesarkan dalam kehangatan pelukan ibu dan kehangatan noken dengan dialasi daun – daun pohon yang khusus bernama “Papak Engga, Yalingga” ini sama seperti selimut bagi bayi. Angginak Sepi Wanimbo, Kebudayaan Suku Lani. Hal. 101 – 102.
Simbol Kesuburan
Tas ini juga menyimbolkan kesuburan bagi masyarakat tanah Papua, terutama mereka yang tinggal di daerah Pegunungan Tengah Papua, seperti suku Yali, Suku Lani, Suku Damal, dan Bauzi. Menariknya, hanya perempuan Papua asli yang boleh membuat tas tradisional ini.
Tak heran jika para perempuan sudah diajari membuat noken sejak kecil. Noken juga merupakan perlambang kedewasaan perempuan.
Proses pembuatan tas noken cukup rumit karena masih menggunakan cara manual. Bahan baku kayu yang akan digunakan sebagai bahan utama akan diolah, dikeringkan, dan dipilah serat-seratnya.
Kemudian, bahan dipintal secara manual menjadi benang atau tali. Pewarnaan pada noken pun dilakukan menggunakan pewarna alami.
Untuk membuat tas kecil biasanya membutuhkan waktu sekitar dua sampai tiga minggu. Sementara untuk tas berukuran besar bisa menghabiskan waktu tiga minggu hingga tiga bulan.
Beragam keunikan yang dimiliki akhirnya membawa tas noken ditetapkan sebagai hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia oleh UNESCO pada 4 Desember 2012. Penetapan ini dilakukan oleh Arley Gill sebagai Ketua Sidang Komite Antar-Pemerintah ke-7 untuk Perlindungan Warisan Budaya Takbenda di Markas UNESCO di Paris, Prancis.
Krisis Identitas di Kalangan Generasi Muda: Tas Pabrik Menggerus Makna
Kemajuan zaman membawa perubahan gaya hidup — dan membawa tanya besar:
Akankah noken bertahan menghadapi budaya yang masuk tanpa henti?
Banyak anak muda Papua kini memilih:
-
tas pabrik,
-
tas kantor modern,
-
tas sekolah komersial,
dan meninggalkan noken, bahkan saat pergi ke gereja atau kampus.
Padahal, noken bukan sekadar barang; ia adalah identitas Lani yang dianugerahkan Tuhan, simbol kedewasaan, dan tanda penghormatan terhadap leluhur.
Angginak mengingatkan:
“Jangan terlena dengan barang orang lain. Banggalah dengan noken—pemberian Tuhan bagi orang Lani.”
Kembali ke Honai: Jalan Pulang untuk Selamatkan Budaya
Untuk menghidupkan kembali budaya yang mulai terkikis, masyarakat Lani menyerukan gerakan kembali ke akar:
1. Kembali belajar di honai
Di honai-lah nene dan tete menyimpan ilmu yang tak tertulis—ilmu yang tidak mungkin diajarkan penuh di bangku sekolah.
2. Merekam kembali cerita leluhur
Anak muda diajak menulis, menggambar, dan mendokumentasikan nilai budaya agar tidak hilang ditelan waktu.
3. Membudayakan membawa noken setiap hari
Perempuan dan laki-laki Lani diajak kembali menjadikan noken sebagai bagian dari aktivitas harian: di kebun, pasar, sekolah, kantor, gereja, dan acara adat.
Noken Adalah Masa Depan: Simbol Kesatuan Orang Lani
“Noken bukan masa lalu,” tegas Angginak,
“Melainkan masa depan.”
Karena menyelamatkan noken berarti:
-
menyelamatkan identitas orang Lani,
-
menyelamatkan memori leluhur,
-
menyelamatkan cara hidup yang berakar pada kesederhanaan, kebersamaan, dan hormat pada alam.
Noken adalah bukti bahwa budaya bisa hidup berdampingan dengan modernitas asalkan tidak dilupakan.
Menjaga Noken, Menjaga Generasi
Pada Hari Noken 4 Desember 2025, masyarakat Lani mengajak seluruh Papua dan Indonesia:
Selamatkan noken, selamatkan identitas.
Selamatkan noken, selamatkan masa depan.
Sebuah seruan yang tidak hanya menyentuh hati, tetapi juga mempertegas bahwa budaya bukan sekadar simbol—melainkan napas kehidupan.
Tuhan Yesus memberkati.
Kinaonak..waa..waa..waa
TiEyom Tiom, 04 Desember 2025
Waktu, 1. 06 Waktu Papua Barat
Penulis:
Ketua DPD – PPKL – AB Provinsi Papua Pegunungan
Ketua DPD – PPDI Provinsi Papua Pegunungan








