Politik, seni, dan perang saling berkelindan dalam kisah dua tokoh terbesar — dan paling bertolak belakang — abad ke-20.
BerdayaNews.com — Dunia mengenal mereka sebagai musuh bebuyutan di medan perang. Namun jauh sebelum pidato-pidato penuh api di parlemen London, atau parade nan megah di Berlin, Winston Churchill dan Adolf Hitler pernah berdiri di hadapan kanvas kosong, mencari ketenangan dari warna-warna cat minyak.
Sejarah jarang mengingat bahwa dua figur politik paling berpengaruh abad 20 ini, di balik ledakan perang dunia, sesungguhnya adalah seniman amatir yang terobsesi dengan lukisan. Yang satu melukis untuk mengusir depresinya, yang lain melukis untuk bertahan hidup di kota yang tak peduli.
Dan kini, setelah lebih dari 60 tahun sejak kepergian Churchill, publik Inggris akhirnya akan memiliki kesempatan langka untuk menyaksikan 50 lukisan perdana menteri legendaris itu yang sebelumnya tak pernah dipamerkan, di Wallace Collection, London.
Sementara itu, lukisan-lukisan Hitler — bagaimanapun piawainya ia menggambar bangunan-bangunan klasik — tetap menjadi artefak terlarang yang jarang disentuh balai lelang karena bayang-bayang kegelapan yang menyertainya.
Dua Seniman yang Terpisah oleh Ideologi, Dipersatukan oleh Palet Warna
Churchill mulai melukis pada 1916, saat karier politiknya nyaris runtuh akibat kegagalan tragis di Gallipoli. Dalam depresi yang ia sebut “black dog”, ia menemukan keselamatan bukan pada pidatonya yang lantang, melainkan pada sapuan kuas cat minyak.
Hitler, di sisi lain, melukis jauh sebelum dunia mengenalnya sebagai diktator. Hidup miskin di Wina, ia menggambar gedung-gedung dan menjualnya sebagai kartu pos. Ia ditolak Akademi Seni dua kali — bukan karena ia tak berbakat, tetapi karena ia menghindari menggambar manusia, seolah-olah secara naluriah ia menghindari kemanusiaan itu sendiri.
Di sinilah ironi sejarah memulai leluconnya yang paling gelap:
Churchill dan Hitler sama-sama pernah membawa kuas ke parit perang.
Pada 1916:
-
Churchill memimpin batalion Royal Scots Fusiliers, melukis markas kecilnya di Ploogsteert.
-
Hitler bertugas sebagai kurir beberapa mil jauhnya, melukis reruntuhan gereja Messines yang hancur oleh artileri.
Dua pria, dua kanvas, satu perang — namun sejarah memilih mereka untuk tak pernah berada di sisi yang sama.
Seni sebagai Pelarian, Politik sebagai Takdir
Churchill memperlakukan seni sebagai tempat ia “bernapas.”
Dalam bukunya Painting as a Pastime, ia menulis tentang melukis seolah-olah itu adalah terapi jiwa.
Hitler, sebaliknya, menjadikan seni sebagai doktrin politik.
Ia membenci modernisme, melarang karya-karya avant-garde, dan menciptakan pameran “seni degeneratif” untuk mempermalukan Picasso, Klee, Kandinsky, dan para revolusioner artistik lainnya.
Ironisnya, Churchill pun konservatif dalam selera seni. Ia pernah berkata kepada Alfred Munnings bahwa ia akan “menendang pantat Picasso” bila bertemu dengannya.
Namun setidaknya, tidak seperti Hitler, ia tidak membakar museum atau mengasingkan seniman avant-garde.
Perbedaan keduanya terlihat jelas di kanvas:
-
Hitler melukis dengan garis kaku, penuh kedisiplinan teknis namun tanpa jiwa.
-
Churchill melukis dengan kebebasan, sapuan spontan yang berusaha merebut keindahan dari dunia yang bergejolak.
Sang diktator melukis dunia sebagaimana ia ingin mengendalikannya.
Sang perdana menteri melukis dunia sebagaimana ia ingin menyembuhkan dirinya darinya.
Seni yang Hilang, Seni yang Diselamatkan
Churchill begitu mencintai melukis sehingga ia membawa alat lukis ke mana pun ia pergi — dari Afrika Utara, Prancis, hingga taman rumah kesayangannya, Chartwell. Salah satu lukisannya, Menara Masjid di Marrakesh, dibeli oleh Angelina Jolie, lalu dijualnya kembali seharga £7 juta pada 2021.
Hitler?
Balai lelang enggan menyentuhnya. Bukan karena tidak laku, tetapi karena seni yang ia hasilkan tidak bisa dilepaskan dari horor yang ia ciptakan. Setiap guratan bangunan klasik yang ia gambar terasa seperti bayangan dari mimpi buruk totalitarianisme.
Churchill pun tidak selalu bersahabat dengan seni. Ketika ia melihat potret dirinya karya Graham Sutherland pada ulang tahun ke-80-nya, ia mengutuknya sebagai lukisan “orang tua yang sedang mengejan.” Clementine, istrinya, kemudian membakar potret itu hingga lenyap, menghancurkan salah satu karya potret terbesar abad 20 — tindakan vandalik yang memadukan cinta, penolakan, dan tragedi estetika.
Seni Tidak Pernah Netral — Bahkan Ketika Diciptakan oleh Politisi
Kedua tokoh ini menunjukkan bahwa seni tidak pernah benar-benar terpisah dari politik:
-
Hitler menggunakan seni sebagai pembenaran ideologi,
-
Churchill menggunakannya sebagai pelarian dari beban kepemimpinan,
-
Dunia seni menggunakan karya mereka sebagai cermin moral sejarah.
Karya Hitler kini hidup sebagai tanda peringatan.
Karya Churchill akan segera hidup kembali sebagai penghargaan.
Satu lukisan menjadi bukti kegelapan.
Yang lain menjadi bukti harapan.
Dua seniman amatir, dua pemimpin besar, dua dunia yang tidak pernah bisa disatukan.
Namun di suatu titik dalam sejarah,
keduanya pernah berdiri di depan kanvas kosong yang sama,
mencari makna dalam warna — sebelum dunia memaksa mereka memilih perang.
Narasi Politik & Seni Churchill


Churchill menggunakan seni sebagai pelarian dari kegelapan politik.
Di tengah depresi setelah Gallipoli, ia menemukan penyembuhan melalui warna-warna cerah dan lanskap hangat.
Karakter seni Churchill:
-
Sapuan spontan, bebas, penuh cahaya
-
Tema damai: taman, danau, Marrakesh, pedesaan Inggris
-
Kontras total dengan perang yang ia pimpin
-
Simbol kemanusiaan di tengah dunia yang ia pertahankan dari tirani
Ironi politik:
Lukisan-lukisannya justru makin mahal setelah ia wafat dan menjadi simbol “negarawan manusiawi”.
Adolf Hitler: Kanvas dari Ambisi Seni & Politik


Narasi Politik & Seni
Hitler memulai hidup sebagai pelukis, bukan politisi.
Ia menggambar gedung-gedung klasik Wina untuk bertahan hidup — tanpa manusia, tanpa emosi.
Karakter seni Hitler:
-
Detail arsitektur presisi namun kaku
-
Tidak berjiwa — sepi dari emosi
-
Tanda awal ketidaksenangannya pada pluralitas manusia
-
Terjebak dalam estetika rigid yang kemudian berubah menjadi politik totaliter
Ironi sejarah:
Akademi Seni Wina menolaknya — bukan karena ia tak berbakat, tetapi karena ia tidak mampu menggambar manusia.
Dunia kemudian menyaksikan bagaimana ia juga gagal membela kemanusiaan.
Dua Seniman yang Tidak Pernah Berada di Sisi yang Sama
Seni pernah menyentuh hidup keduanya — namun cara mereka memaknai seni itulah yang mengubah dunia.
-
Churchill memetik kuas untuk menyembuhkan dirinya, lalu memimpin dunia menuju kebebasan.
-
Hitler memetik kuas untuk membentuk dunia sesuai obsesinya, lalu menghancurkannya.
Di tengah sejarah kelam abad 20, kanvas-kanvas mereka menjadi cermin:
bahwa seni dapat menyelamatkan jiwa… atau mengungkap kegelapan terdalam manusia.fs
(Penulis; Nigel Jones adalah seorang sejarawan dan jurnalis)


