BerdayaNews.com, Tiom, Papua Pegunungan — Dari puncak Gunung Kerek-Lamok, Tiom dikenal sebagai “Kota di Atas Awan”, ibu kota Kabupaten Lanny Jaya yang sejuk dan terpencil di kawasan Lapago, wilayah adat Lapago (LAPAGO). Namun di tengah keterbatasan geografis, masyarakat Lani mewarisi kecerdasan luar biasa dalam pendidikan nonformal: membangun honai, berkebun, merajut jembatan gantung, hingga merancang alat perang tradisional seperti pana, busur, dan tombak. Kini, warisan itu bertemu dengan sesuatu yang sama kuatnya — budaya membaca.
Istilah Mbok Iyok Peregim dalam bahasa Lani berarti “Meletakan Kaki Tuhan”, mencerminkan Tiom sebagai tempat perjumpaan penting dalam sejarah budaya dan spiritual Lani. Nama Ti Eyom Tiom sendiri dimaknai sebagai “tempat di mana tokoh berpengaruh pernah berpijak dan memimpin dengan kejujuran, kepolosan, dan kesetiaan.” Makna ini memberi pesan bahwa kepemimpinan dan peradaban baru juga bisa dilahirkan dari aksara dan bacaan.
Momentum literasi dimulai sejak 28 Oktober 1956, ketika misi Australian Baptist Missionary Society (ABMS) dipimpin Norm Draper, Hein Noordyk, dan Ian Gruber tiba di Tiom melalui perjalanan panjang dari Australia — via PNG, Sentani, Hubulama, Piramid, Bokondini, hingga akhirnya menjejakkan kaki di Balim Barat. Selain membawa Injil, misi ini memperkenalkan layanan dasar modern seperti pendidikan, kesehatan, pertanian modern, pertukangan, dan pelatihan kepemimpinan.
Namun yang paling bersejarah adalah kehadiran buku. Dari sanalah masyarakat Lani pertama kali mengenal huruf, baca-tulis, dan jendela dunia.
“Kita tidak bisa melihat dunia secara fisik dari Tiom. Tetapi kita mengelilingi dunia dengan membaca buku,”
tulis Angginak Sepi Wanimbo, pengagas Gerakan Literasi Mencerdaskan Anak Negeri Papua Pegunungan (GLMANPP), sekaligus tokoh pendidikan dan budaya Lani, dalam renungannya.
Seiring perkembangan zaman, akses informasi semakin luas melalui media digital. Perjalanan tim sepak bola Persipura ke luar Papua dapat ditonton langsung dari kampung-kampung, begitu pula isu kemanusiaan yang terekam dalam sejarah konflik Papua sejak 1963. Meski demikian, Wanimbo menegaskan: media hanya jembatan informasi, sementara buku adalah jembatan pemikiran dan peradaban.
Menurutnya, otak manusia juga membutuhkan “asupan gizi” seperti halnya tubuh membutuhkan makanan bergizi. Dan nutrisi utama bagi otak adalah membaca — dilakukan konsisten, setiap hari, untuk melahirkan generasi Lani yang gagah, sehat pikir, dan cakap dalam kebijakan.
Dalam seruannya kepada generasi muda Papua Pegunungan, ia menuliskan metafora yang membakar semangat budaya membaca:
“Bagi laki-laki, jadikan buku sebagai istri pertama.
Bagi perempuan, jadikan buku sebagai suami pertama.
Karena buku adalah cermin, jembatan, dan jalan merebut masa depan.”
Gerakan literasi yang digaungkan Wanimbo kini mulai mendapat perhatian luas di sekolah-sekolah adat Lani, komunitas pemuda, hingga organisasi profesi. Semangat itu semakin kuat ketika Tiom, yang dulu merupakan distrik kecil di bawah Kabupaten Jayawijaya, kini berdiri sebagai pusat pemerintahan dan harapan baru di Provinsi Papua Pegunungan.
Dengan membaca, Tiom bukan hanya tempat Tuhan meletakan kaki, tetapi tempat masa depan Lani mulai melangkah.
📅 TiEyom Tiom, 30 November 2025
⏰ 06.21 Waktu Papua Barat
Penulis:
Angginak Sepi Wanimbo
-
Pengagas GLMANPP (Gerakan Literasi Mencerdaskan Anak Negeri Papua Pegunungan)
-
Ketua DPD PPDI Provinsi Papua Pegunungan
-
Ketua DPD PPKL & AB Provinsi Papua Pegunungan
Kinaonak… Waaa Waaa!
(Semangat suku Lani, mari bangkit bersama).fs


