BerdayaNews.com, Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat — Laju deforestasi yang dipicu aktivitas industri ekstraktif dan perkebunan skala besar kembali menjadi sorotan. WALHI menegaskan, kerusakan hutan di wilayah hulu telah meruntuhkan fungsi ekologis bentang alam Sumatera sebagai penyangga air, sekaligus membuka dugaan pelanggaran hukum serius oleh korporasi pemegang konsesi.
Hutan Bukan Hilang, Tapi “Sistem Pengatur Air dan Hujan” yang Diruntuhkan
Penggundulan kawasan hutan primer dan pembuatan kanal drainase pada konsesi perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI) menyebabkan 70–90% air hujan yang dulu terserap ke tanah kini berubah menjadi limpasan permukaan (run-off) yang meluncur langsung ke sungai.
Akibatnya, debit sungai melonjak secara mendadak setiap kali hujan turun. Di saat bersamaan, aktivitas land clearing dan pengupasan lereng tambang mengirimkan sedimen lumpur dan kayu gelondongan ke badan sungai, sehingga kedalaman sungai menyusut hingga 30–70% dalam kurun singkat. Kombinasi mematikan ini membuat sungai kehilangan daya tampungnya.
Sementara itu, pembukaan hutan di lereng Pegunungan Bukit Barisan juga memicu pemanasan lahan yang berlebihan, meningkatkan penguapan air secara ekstrem, serta diperparah aerosol dari kebakaran lahan yang menjadi Cloud Condensation Nuclei (CCN) — inti kondensasi yang mempertebal awan hujan.
Hasilnya: hujan orografis di Sumatera yang seharusnya stabil kini berubah makin intens, cepat menggumpal, dan turun dalam volume luar biasa, memicu banjir bandang dan genangan meluas di wilayah hilir.
Banjir Melampaui Pola Alamiah


Pola bencana terbaru menunjukkan karakteristik yang konsisten:
-
Hujan turun lebih deras dan tiba-tiba karena atmosfer lokal makin panas dan lembap dari lahan terbuka.
-
Air dari hulu mengalir tanpa hambatan vegetasi maupun kontur tanah akibat jaringan jalan konsesi dan kanal.
-
Sungai menjadi dangkal dan menyempit oleh sedimentasi, sehingga tidak mampu meredam lonjakan air.
-
Lereng tanpa hutan membuat air turun seperti air terjun raksasa, membawa material dan menghantam pemukiman.
Dugaan Kejahatan Lingkungan & Pelanggaran Administratif
Di Aceh, WALHI menyebut dugaan pembukaan ribuan hektare lahan sawit tanpa izin layak lingkungan oleh perusahaan-perusahaan pemegang konsesi. Sedangkan di Batang Toru, Sumatera Utara, tudingan diarahkan pada perusahaan energi dan tambang — mulai dari PT Agincourt Resources (Tambang Emas Martabe) hingga PT North Sumatera Hydro Energy (proyek PLTA Batang Toru) yang dikaitkan dengan kehilangan tutupan hutan, kerusakan DAS, dan terganggunya habitat orangutan Tapanuli.
Sementara itu di Sumatera Barat, WALHI menilai proyek-proyek berbasis konsesi di kawasan hulu Bukit Barisan dan wilayah penyangga DAS strategis berkontribusi pada kerusakan daya dukung lingkungan, yang berimplikasi pada lonjakan risiko bencana hidrometeorologi — khususnya banjir dan longsor.

Pelanggaran yang berpotensi terjadi mencakup:
-
Operasi mendahului izin lingkungan / pengabaian AMDAL (UU 32/2009 tentang PPLH)
-
Perusakan daerah tangkapan air (DTA) yang mengganggu sistem hidrologi
-
Potensi tindak pidana korporasi terkait kejahatan lingkungan, termasuk pembukaan lahan ilegal dan pembakaran hutan
-
Kelalaian pengelolaan lingkungan oleh penanggung jawab usaha, yang dapat dikenakan sanksi pidana, denda, penutupan usaha, hingga pemulihan lingkungan wajib oleh korporasi
Sanksi Hukum yang Dapat Menjerat
Berdasarkan UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU 32/2009), korporasi bisa dipidana jika terbukti:
-
Menyebabkan kerusakan lingkungan hidup serius
-
Melakukan pembakaran hutan/lahan
-
Tidak memiliki atau melanggar izin lingkungan
-
Mengakibatkan korban massal akibat bencana ekologis turunan
Selain pidana, juga ada ancaman:
-
Denda miliaran rupiah
-
Paksaan pemerintah untuk pemulihan lingkungan (rehabilitasi DAS, reforestasi, restorasi gambut)
-
Pencabutan konsesi & penutupan usaha sementara/permanen
-
Pidana untuk direksi/penanggung jawab lapangan
-
Kompensasi sosial kepada masyarakat terdampak
-
Gugatan perdata, class action, dan citizen lawsuit
Desakan: Tegakkan “Hukum Pemulihan” Bukan Hanya “Hukum Hukuman”
WALHI menilai bahwa kerusakan yang terjadi menunjukkan bencana sistemik akibat tata kelola konsesi yang abai terhadap fungsi hutan sebagai pengatur hujan dan siklus air. Karena itu, mereka mendorong penegak hukum untuk:
“Tidak hanya memproses pelaku, tetapi juga memaksa pemulihan lingkungan secara menyeluruh di kawasan hulu dan DAS strategis.”
Menatap 2026: Tanpa Pemulihan Hulu, Bencana Hilir Akan Terus Terulang
Jika tak ada intervensi korektif, para ahli ekologi memprediksi:
Kondisi hulu terus menyusut, Gambut Kering dan Rusak, Sungai terus bersedimentasi, Suhu Lahan Naik maka memberi dampak Banjir semakin sering dan makin besar, pelepasan air sekaligus saat hujan, sungai meluap di ambang kecil dan konveksi hujan makin ekstrim.
Jadi kerusakan alam di Sumatera bukan hanya krisis ekologis, tetapi juga krisis penegakan hukum. Hutan yang hilang telah meruntuhkan tameng alami pengendali hujan dan air, sementara izin yang diabaikan berpotensi menjadi kejahatan lingkungan hidup yang pidananya dapat menjerat korporasi hingga level direksi.fs


