BerdayaNews.com – Ketika tiga provinsi di Sumatra – Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat – dilanda banjir bandang dan longsor secara serentak dan luar biasa, publik menyebutnya anomali. Namun ilmu kebencanaan membaca pola lain: ini adalah pertemuan faktor cuaca, biosfer, degradasi kehutanan, dan kimia atmosfer dalam satu periode ekstrem.

Bukti Ilmiah: Deforestasi Parah & Dampaknya

  • Sebelum 1972, kawasan BBSNP sudah kehilangan ± 46.100 hektar hutan — sekitar 13% dari luas awal kawasan. IPB Repository+1

  • Antara 1972–2006, laju rata-rata deforestasi di taman nasional ini mencapai ≈ 0,64% per tahun, khususnya pada hutan perbukitan dan dataran rendah. ResearchGate+1

  • Selama periode tersebut, sebagian besar penggundulan disebabkan oleh faktor-faktor seperti pembukaan lahan pertanian/perkebunan, konsesi kayu, pembalakan ilegal, bukan semata pembukaan lahan kecil. Neliti+1

  • Hasilnya: wilayah pegunungan dan lereng yang semestinya berfungsi sebagai spons air dan penahan longsor kini kehilangan vegetasi alami, struktur tanah melemah, dan ekosistem rusak — membuat daerah hulu sangat rentan longsor dan banjir bandang saat hujan ekstrem. Neliti+2Neliti+2

“Konversi hutan menjadi perkebunan dan konsesi kayu di Bukit Barisan Selatan telah mengikis tutupan hutan, melemahkan fungsi ekologis, dan memicu bencana alam yang makin rutin.” — para peneliti konservasi. Neliti+1

Akibat Nyata: Banjir Bandang, Longsor, & Sistem Hidrologi Lumpuh

Saat hujan deras atau cuaca ekstrem tiba — seperti yang terjadi belakangan ini di banyak provinsi Sumatra — efek kerusakan di hulu Bukit Barisan langsung terasa:

  • Lereng gundul → tanah tidak bisa menyerap air → aliran permukaan meningkat drastis

  • Sungai dan DAS kehilangan daya tampung → air meluap secara deras

  • Pemukiman, desa, kota di dataran rendah menjadi korban banjir & longsor hebat

  • Bencana tidak lagi sporadis — tetapi massif, melintasi provinsi, daerah, dan lapisan sosial

Ini menjelaskan mengapa beberapa provinsi di Sumatra bisa dilanda bencana secara serentak — bukan hanya karena cuaca, tapi karena bunyi alarm ekologis: bumi sudah menolak diperlakukan semena-mena.

Baca juga :  SD Negeri Cibuntu 02 Jadi Teladan Sekolah Berkarakter dan Transparan di Bekasi

Narasi Lingkungan-Politik: Saatnya Negara Hadir di Hulu, Bukan Saat Sungai Meluap

“Hutan Bukit Barisan bukan komoditas; ia adalah tameng kehidupan. Ketika lukanya dibuka, banjir dan longsor adalah konsekuensinya — bukan pemicu, tapi hukuman atas kelalaian kita.”

Dengan data satelit, peta deforestasi, dan bukti ilmiah, negara — dan publik — harus mengambil sikap tegas:

  • Audit izin konsesi & perkebunan di kawasan hulu

  • Moratorium permanen terhadap pembukaan lahan di zona resapan & DAS

  • Program rehabilitasi besar-besaran: reboisasi, restorasi vegetasi alami, pengembalian fungsi ekologis

  • Sistem pencegahan bencana berbasis lingkungan & komunitas, bukan sekadar tanggap darurat

Pemicu Cuaca: Kimia Atmosfer yang ‘Jenuh Uap Air’

Dari sisi kimia meteorologi, banjir selalu diawali oleh hujan ekstrem. Koridor Sumatra bagian barat berada di lintasan Monsun Barat, arus angin lembap yang membawa uap air raksasa dari Samudra Hindia dan Teluk Benggala. Uap air (H₂O) yang menumpuk di atmosfer naik ke pegunungan dan mengalami orographic lifting, memicu kondensasi cepat membentuk awan hujan.

Proses kondensasi ini dipengaruhi komposisi kimia udara:

  • Uap air membentuk inti kondensasi awan (Cloud Condensation Nuclei/CCN), yaitu partikel halus seperti aerosol garam laut (NaCl mikro-partikulat), sulfat (SO₄²⁻), nitrat (NO₃⁻), dan debu organik.

  • Partikel CCN bersifat higroskopis (mudah menarik uap air), sehingga makin banyak aerosol → makin mudah awan “pecah jadi hujan deras.”

Pada momen bersamaan, kelembapan udara tinggi ditambah tekanan atmosfer labil menciptakan awan Cumulonimbus yang menurunkan hujan intens berkepanjangan. Hujan bukan bencana, tetapi reaksi kimia alam saat atmosfer sudah kehilangan keseimbangan.

Faktor Biologis: Biosfer Sumatra yang Kehilangan Penyeimbang

Hutan hujan tropis di Bukit Barisan adalah mesin biologis iklim. Pohon, lumut, serasah daun, dan mikroorganisme tanah bekerja sebagai sistem penyeimbang:

  • Pohon melepaskan uap air lewat transpirasi biologis dan membentuk pola hujan lokal yang stabil.

  • Mikroba tanah, jamur mikoriza, dan lapisan humus membantu menyerap dan menyimpan air, juga mengikat unsur karbon organik di tanah.

Baca juga :  DESA PEMUTERAN DESTINASI UNGGULAN  YANG PALING DIGEMARI WISATAWAN

Saat terjadi deforestasi atau penggundulan hutan dan alih fungsi lahan jadi perkebunan maka faktor kedua berupa mikroba, jamur atau humus tanah akan hilang, sehingga daya serap dan penyimpanan air jadi hilang atau sistem biologis ini hancur, sehingga:

  • Siklus air alami di hulu terputus

  • Tanah tidak lagi punya pori biologi untuk menyimpan air

  • Sungai menerima limpasan air yang tidak tersaring secara biologis, menyebabkan lonjakan debit mendadak (flash flood)

Alam bukan hanya kehilangan pohon, alam kehilangan fungsi biologisnya sebagai pengatur cuaca dan penyerap air.

Faktor Forestry: Lereng Bukit Barisan Tanpa Tameng Ekologis

 

Dari sisi kehutanan, kerusakan paling parah terjadi di zona hulu DAS (Daerah Aliran Sungai) Bukit Barisan, akibat:

  • Tutupan hutan hilang di perbukitan dan lereng

  • Perkebunan monokultur menggantikan hutan (akar dangkal vs akar kuat)

  • Sungai & DAS mengalami sedimentasi parah dari erosi hulu

  • Rangkaian alur air menjadi tanpa filter vegetasi dan tanpa reservoir biologis

Akibat forestry:

  • Air hujan turun dari pegunungan lebih cepat dari kemampuan sungai menampung

  • Lereng menjadi rawan longsor karena struktur tanah tanpa akar kuat pendukung

  • Sungai berubah fungsi dari jalur air menjadi jalur bencana

Bukit Barisan seharusnya dinding air, kini menjadi jalur air yang menyerang.

Faktor Kimia yang Berasal dari Kerusakan Lingkungan

Kerusakan lahan hutan juga mempengaruhi komposisi kimia lokal:

  • Hilangnya vegetasi menurunkan kemampuan tanah mengikat karbon → lebih banyak CO₂ kembali ke atmosfer

  • Pembukaan lahan sering diikuti pembakaran biomassa hutan → menghasilkan:

    • Karbon dioksida (CO₂)

    • Karbon monoksida (CO)

    • Partikel organik halus (PM 2.5 dan PM 10)

Partikel ini naik ke atmosfer dan bertindak sebagai aerosol tambahan CCN, memicu hujan lebih mudah turun, lebih deras, dan di area lebih luas, sehingga bandara, sungai, dan kota di hilir menerima beban hujan dan air yang raksasa.

Baca juga :  Opini: Menarik Gagasan Besar ke Ranah Keintiman dan Kerukunan Keluarga

Benang Merah Penyebab Banjir yang Serentak

Banjir tidak terjadi hanya karena cuaca buruk, tetapi karena:

Faktor ilmiah yang perlu dimengerti adalah:
  1. Faktor Kimia atmosfir (Uap air + Aerosol CCN higroskopis) akan berkontribusi untuk membentuk hujan ekstrem maka akan terjadi banjir
  2. Degradasi Biologis Hutan dan tanah resapan akan berkontribusi Hilangnya Kemampuan Menyerap Air sehingga terjadi banjir
  3. Kerusakan Forestry di Hulu DAS akan berkontribusi penurunan Air yang terlalu cepat, sungai tidak mampu menampung maka akan terjadi banjir
  4. Kimia Emisi akibat pembakaran lahan hutan akan berkontribusi menambah aerosol pembentuk hujan sehingga sangat memacu pembentukan awan dalam jumalah yang sangat besar yang berpotensi hujan lebat yang mengakibatkan banjir.

Ketika hujan dipicu oleh reaksi kimia di atmosfer, dan hulu kehilangan filter biologis serta reservoir hutan, maka air turun serentak dan menghantam tanpa memandang batas administratif provinsi.

Solusi Politik Lingkungan yang Paling Tepat

Kini, tindakan paling penting pemerintah bukan hanya disaster response (tindakan cepat dan terkoordinasi yang dilakukan saat bencana sedang terjadi atau baru saja terjadi, untuk menyelamatkan nyawa, mengurangi dampak kerugian, dan memenuhi kebutuhan dasar korban., tetapi disaster prevention  atau serangkaian langkah pencegahan sebelum bencana terjadi, dengan tujuan mengurangi atau meniadakan potensi terjadinya bencana dan meminimalkan dampaknya terhadap manusia, infrastruktur serta lingkungan di hulu yaitu:

  1. Moratorium permanen pembukaan hutan di DAS & resapan Bukit Barisan

  2. Rehabilitasi hutan kritis dengan vegetasi akar kuat & lokal

  3. Pengerukan sungai dan normalisasi kapasitas tampung DAS

  4. Membangun command center bencana terhubung realtime ke desa, bukan hanya kabupaten

  5. Membatasi pembakaran biomassa hutan yang menambah aerosol pembentuk hujan.

Bila perbaikan ekstrim tidak dilakukan dihulu sungai, maka banjir yang membawa bencana yang lebih ekstrim akan segera terjadi.

“Hujan adalah reaksi kimia alam, tapi banjir bandang adalah reaksi bumi yang lelah. Negara harus hadir di hulu, bukan hanya di seremoni pelantikan bantuan.”fs