Oleh: Tim Hukum berdayanews.com

BerdayaNews.com, Birokrasi — Di banyak daerah, jabatan birokrasi strategis hari ini tak lagi ditentukan oleh kompetensi, tetapi oleh kedekatan: kedekatan darah, kedekatan emosional, atau kedekatan politik. Dinasti politik yang dulu dianggap anomali kini menjelma pola baru dalam pemerintahan daerah. Seleksi jabatan penting seperti Sekretaris Daerah (Sekda), yang seharusnya menjadi arena sistem merit, berubah menjadi gelanggang konsolidasi kekuasaan keluarga.

Padahal, landasan hukum Indonesia cukup tegas. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 menyatakan penyelenggara negara harus bebas dari KKN. UU ASN mewajibkan setiap promosi berbasis merit. UU Tipikor memberi sanksi pidana bagi penyalahgunaan wewenang untuk keuntungan pribadi atau kelompok. Secara normatif, nepotisme adalah penyimpangan. Tetapi praktiknya: justru yang menyimpang sering dijadikan standar.

Masalah sesungguhnya adalah keberanian melawan intervensi politik yang selalu bergerak di ruang-ruang yang sulit dibuktikan. Tekanan telepon, pesan singkat, titipan nama, hingga instruksi informal dari lingkar kekuasaan menjadi arus bawah tanah yang menggerakkan birokrasi. Kita berhadapan bukan hanya dengan pelanggaran prosedur, tetapi kultur kekuasaan yang menganggap jabatan publik sebagai “aset keluarga”.

Untuk menghentikan pola itu, ada tiga syarat mutlak yang harus dipenuhi.

Pertama, transparansi tanpa kompromi. Dokumen seleksi harus dibuka sepenuhnya: daftar dan rekam jejak Panitia Seleksi, nilai peserta, parameter penilaian, hingga laporan integritas. Selama proses berlangsung tertutup, manipulasi akan selalu menemukan jalannya. Nepotisme tidak bisa hidup di ruang terang.

Kedua, pengawasan eksternal yang berani dan independen. KPK perlu mengawasi serius isu jual beli jabatan dan gratifikasi promosi. KASN wajib mengawal sistem merit tanpa tunduk pada tekanan kepala daerah. Ombudsman harus membaca setiap potensi maladministrasi. Masyarakat sipil, jurnalis, dan akademisi harus menjadi pemutus rantai pembungkaman. Mengandalkan pengawasan internal semata sama saja menyerahkan wilayah rawan korupsi kepada para pelaku kepentingan.

Baca juga :  DESA PEMUTERAN DESTINASI UNGGULAN  YANG PALING DIGEMARI WISATAWAN

Ketiga, penegakan hukum yang tidak ragu menjerat pelaku penyalahgunaan wewenang. Banyak kepala daerah jatuh karena kasus jual beli jabatan. Namun kasus nepotisme—meski sama bahayanya—sering luput dari jerat hukum. Padahal, jika unsur penyalahgunaan jabatan terpenuhi, nepotisme bisa dibawa ke ranah pidana. Tanpa sanksi keras, praktik ini akan dianggap lumrah dan terus berulang.

Namun pencegahan saja tidak cukup. Kita harus mampu membaca sejak awal tanda-tanda konflik kepentingan, terutama yang berkaitan dengan hubungan keluarga. Pemeriksaan data Dukcapil, formulir deklarasi konflik kepentingan, penelusuran jejak media sosial, pemetaan relasi, hingga laporan whistleblower adalah metode efektif mengungkap simpul-simpul kedekatan yang tak pernah tertulis di dokumen resmi.

Banyak nepotisme tidak diungkap bukan karena tidak ada bukti, tetapi karena tidak dicari. Dalam banyak kasus, foto keluarga, unggahan kampanye, dan pola mutasi jabatan justru lebih fasih berbicara daripada dokumen administratif.

Jika ditemukan hubungan keluarga, peserta wajib dikeluarkan dari proses—tidak perlu menunggu terjadi pelanggaran. Prinsip zero tolerance sudah menjadi standar internasional. Indonesia tak boleh lagi bermain abu-abu dalam isu ini.

Kita sedang berada pada titik krusial. Birokrasi adalah tulang punggung pemerintahan. Ketika jabatan strategis dipenuhi orang yang “dekat”, bukan orang yang “tepat”, maka kerusakan bukan hanya pada kualitas layanan publik, tetapi pada legitimasi negara itu sendiri.
Birokrasi yang dikooptasi keluarga adalah birokrasi yang kehilangan objektivitas; birokrasi tanpa objektivitas adalah birokrasi yang gagal.

Pertanyaannya kini sederhana:
Apakah pemerintah daerah berani menolak godaan keluarga sendiri?
Atau justru membiarkan meritokrasi keropos dari dalam?

Baca juga :  Pembelajaran dari Thailand: Integrasi Mitigasi dan Adaptasi Perubahan Iklim untuk Ketahanan Pangan dan Manajemen Sumber Daya Alam

Negara yang modern dibangun oleh institusi yang kuat, bukan oleh keluarga yang kuat. Dan jika Indonesia ingin keluar dari lingkaran patronase yang terus berulang, maka perang melawan nepotisme harus dimulai dari tempat yang paling strategis: proses seleksi pejabat publik itu sendiri.

Tantangan Berat Penegak Hukum dalam Menghentikan Nepotisme

Satu hal yang jarang dibicarakan adalah kenyataan bahwa aparat penegak hukum pun menghadapi medan berat ketika mencoba menindak nepotisme dalam pemerintahan.

1. Nepotisme Jarang Meninggalkan Jejak Transaksi

Berbeda dari suap uang tunai, nepotisme sering kali tidak berbentuk transfer dana. Ia muncul dalam bentuk intervensi halus: rekomendasi lisan, tekanan politik, atau koneksi keluarga. Dari perspektif pembuktian hukum, ini adalah “kejahatan tanpa jejak”.

2. Bukti Dominan Berbasis Relasi, Bukan Dokumen

Penegak hukum harus membuktikan hubungan keluarga, hubungan emosional, atau hubungan kedekatan politik.
Masalahnya: relasi bukanlah alat bukti yang mudah dikuatkan. Foto bersama, jejak digital, atau pengakuan pihak ketiga jarang cukup kuat dalam struktur pembuktian pidana.

3. Tekanan Politik dan Ancaman Karier

Aparat penegak hukum di daerah sering berhadapan dengan pejabat yang memiliki pengaruh politik besar, bahkan jaringan dinasti yang menguasai lembaga pemerintahan.
Di banyak kasus, tekanan politik—langsung maupun tak langsung—menjadi hambatan nyata bagi penyidik maupun pengawas internal.

4. Proses Seleksi yang Tertutup sejak Awal

Karena banyak pemerintah daerah tidak membuka dokumen seleksi ke publik, penegak hukum sering kali masuk dalam kondisi “telat”, yakni setelah nepotisme sudah terjadi dan pejabat sudah dilantik. Padahal, nepotisme paling mudah dicegah sebelum keputusan dibuat, bukan setelahnya.

5. Budaya Patronase yang Mengakar

Hubungan keluarga dalam jabatan publik sering dianggap hal biasa di tingkat lokal. Ketika masyarakat sendiri menganggapnya sebagai “tradisi”, pelaporan menjadi minim. Tanpa laporan dan tekanan publik, penegak hukum bekerja dalam ruang yang sangat terbatas.

Baca juga :  Korupsi di Sekolah Makin Meresahkan: Dana BOS Jadi Sasaran Utama, Kepala Sekolah dalam Sorotan Nasional

6. Minimnya Kerangka Pembuktian Khusus

Berbeda dengan suap atau gratifikasi, nepotisme tidak memiliki pasal spesifik dalam UU Tipikor. Penegak hukum harus mengonstruksi perkara melalui pasal penyalahgunaan wewenang atau gratifikasi non-materi, yang memerlukan argumentasi hukum lebih kompleks.

Tantangan-tantangan ini menjelaskan mengapa kasus nepotisme sulit naik ke ranah hukum, meskipun publik melihatnya terang-benderang.

Melampaui Pencegahan: Deteksi Dini Konflik Kepentingan

Upaya menangkal nepotisme harus dimulai sebelum keputusan dibuat. Pemeriksaan data Dukcapil, deklarasi konflik kepentingan, penelusuran jejak digital, pemetaan relasi, wawancara integritas, hingga laporan whistleblower adalah instrumen yang seharusnya menjadi standar.

Banyak nepotisme terbongkar bukan dari dokumen resmi, tetapi dari foto syukuran keluarga, unggahan kampanye, atau pola mutasi jabatan yang tidak wajar.

Jika hubungan keluarga terkonfirmasi, peserta harus dikeluarkan dari proses tanpa kompromi. Di negara-negara maju, zero tolerance adalah hal biasa. Indonesia tidak boleh terus bermain abu-abu.

Jadi birokrasi yang dikelola berdasarkan kedekatan bukan hanya merusak profesionalisme, tetapi menggerogoti legitimasi negara. Kita tidak sedang mempertaruhkan satu jabatan, melainkan masa depan tata kelola pemerintahan.

Pertanyaannya jelas:
Apakah pemerintah daerah berani menolak titipan keluarga sendiri?
Atau apakah kita akan menyaksikan meritokrasi digilas oleh loyalitas keluarga?

Negara modern dibangun oleh institusi yang kuat, bukan keluarga yang kuat.
Jika Indonesia benar-benar ingin lepas dari jerat patronase, maka perang melawan nepotisme harus dimulai dari ruang seleksi pejabat publik — sebelum birokrasi berubah menjadi kerajaan kecil yang diwariskan dari satu keluarga ke keluarga lainnya.fs