BerdayaNews.com, Kehidupan — Cecik selalu menyukai malam. Di bawah lampu jalan yang redup di depan kosnya, segalanya terasa lebih sederhana: suara sepeda motor yang lewat, aroma kopi dari warung, dan bayang-bayang yang menempel di dinding. Tapi malam-malam itu juga menyimpan rahasia yang semakin berat untuk ditanggungnya.

Sudah sembilan bulan hubungan itu berlangsung — bukan hubungan yang hitam-putih, melainkan garis abu-abu yang dia jaga rapat-rapat. Pacar teman dekatnya menjadi sumber kebahagiaan yang membuat dada Cecik berdegup, sekaligus lubang gelap yang menghisap ketentramannya. Ketika mereka duduk bersama, ketika teman-temannya bercanda, Cecik berlagak biasa saja. “Yang penting teman saya tidak tahu,” pikirnya berulang-ulang, seperti penghapus yang menutupi noda yang terus saja muncul kembali.

Lalu cemburu datang. Bukan kemarahan yang runtuh seketika, melainkan letupan-letupan kecil: nada tajam saat mereka berbicara, telepon yang ditanya berkali-kali, tatapan yang terlalu lama ketika pacarnya berbicara tentang teman itu. Rasa bersalah bercampur takut — takut kehilangan pria yang membuatnya merasa hidup, takut kehilangan diri karena terus berbohong. Dan di puncak kelelahan batin itu ada bisik gelap yang membuatnya menggigil: “Kalau begini terus, lebih baik berhenti saja.”

Malam suatu Minggu, lampu gereja memantulkan bayangan panjang di trotoar saat Cecik menapaki langkah menuju pintu yang tidak pernah ia sangka akan ia masuki. Di dalam, di kursi kayu yang dingin, ia menumpahkan isi hatinya pada seorang imam yang dikenal ramah—bukan untuk mencari hukuman, melainkan untuk menemukan jalan keluar dari kegelapan yang menyesakkan.

Baca juga :  Tri Adhianto: Program CITRA Indonesia Perkuat Pengelolaan Sampah Berbasis Ekonomi Sirkular di Kota Bekasi

Romo mendengarkan. Tanpa menghakimi, tanpa memihak, hanya mendengarkan — seperti kaca jernih yang menampung air mata dan memberi pantulan kembali. “Rahmat dan pertolongan itu,” kata Romo lembut, “bukan hanya kata-kata. Itu juga tindakan. Kebenaran yang engkau sembunyikan melukai banyak orang, termasuk dirimu sendiri.”

Romo bukan sekadar memberi nasihat teologis; ia memberi arah. “Beranilah membuka ruang terang,” katanya. “Akui kesalahanmu, terima tanggung jawab, dan akhiri apa yang merusak kehidupanmu. Cari pengampunan — bukan sebagai ritual semata, tetapi sebagai langkah konkret untuk berubah.” Ia menatap Cecik dengan penuh harap, seolah membisikkan bahwa kehidupan yang lebih ringan mungkin menunggu di ujung pengakuan.

Cecik pulang dengan dada panas. Tidak ada drama besar—hanya keheningan yang memancing refleksi. Ia memikirkan teman yang selama ini percaya padanya, memikirkan lelaki yang ia cintai namun ia sakiti, dan memikirkan dirinya yang hampir menyerah. Kata-kata Romo berulang-ulang di kepalanya: “Hiduplah sebagai anak-anak terang.” Kata-kata itu seperti lampu kecil yang menuntunnya menyusuri lorong gelap.

Keputusan tidak datang serentak. Ia membuka ponsel, menatap nama yang selama ini ia sembunyikan, lalu menutup mata. Ia tahu ia harus mengakhiri hubungan itu — bukan hanya karena salah, tetapi karena terus melakukannya adalah kekerasan terhadap batinnya sendiri. Ia juga tahu bahwa berterus terang kepada temannya akan menimbulkan luka; kebenaran kadang menorehkan bekas sebelum menyembuhkannya. Namun, hidup terus menuntut keberanian untuk memilih jalan yang lebih jujur.

Baca juga :  Selamat Hari Ibu: Sejarah, Budaya, dan Makna Perjuangan Perempuan Indonesia

Dalam minggu-minggu berikut, langkah Cecik berganti: bertemu sekali lagi dengan Romo untuk bimbingan, mengakhiri komunikasi yang mengikat secara perlahan tetapi tegas, dan menyiapkan diri untuk menyampaikan kebenaran pada teman yang dicintainya. Saat hari itu tiba, ia memilih tempat yang sunyi, memulai dengan permintaan maaf yang vulkanik—panas, lama, dan tak terelakkan. Tangisan berlangsung; marah dan kecewa juga hadir. Namun ada sesuatu yang lain: kelegaan, tipis namun nyata—seperti udara yang kembali memasuki paru-paru setelah lama tertahan.

Perjalanan penyembuhan tidak instan. Teman yang dikhianati membutuhkan waktu untuk mempercayai lagi; pria yang pernah menjadi pelarian pun pergi dengan luka di hatinya sendiri. Cecik belajar menata hari-harinya tanpa tergantung pada kebohongan. Ia kembali ke hal-hal sederhana: membaca di taman, menulis surat yang tak perlu dikirim, dan menghadiri pertemuan konseling. Ia juga belajar mencari bantuan ketika pikiran gelap datang—berbicara pada sahabat lain, menemui profesional, dan mengingatkan dirinya bahwa kehidupan ini berharga.

Cerita Cecik bukan soal hukuman ilahi atau dramatisasi dosa. Ia adalah kisah tentang manusia yang tersesat, memilih kegelapan karena takut kehilangan, lalu pelan-pelan melangkah ke dalam terang ketika menyadari bahwa kebenaran—meski menyakitkan—adalah pintu menuju kebebasan. Di ujungnya, bukan kemenangan penuh yang menunggu, melainkan perjalanan panjang menuju damai yang lebih autentik.

Baca juga :  GEOLOGI INDONESIA SANGAT SENSITIF: Memelihara Alam, Menguatkan Antisipasi, Kunci Menyelamatkan Indonesia Dari Bencana

Di sebuah sore yang tak istimewa, ketika lampu jalan menyala lagi, Cecik berjalan menyusuri trotoar yang sama. Ia tidak lagi menyembunyikan dirinya di balik tawa palsu. Ada bekas-bekas luka, tentu. Tapi ada juga kebijaksanaan baru: bahwa mengakui salah bukanlah tanda kelemahan, melainkan keberanian untuk hidup. Ketika ia menengadah ke langit, ia tidak lagi merasakan bisik gelap yang dulu ingin mengakhiri semuanya. Ia mendengar dentang kecil dari gereja dekat sana—sebuah pengingat bahwa pertolongan dan harapan bisa datang dalam bentuk yang paling sederhana: telinga yang sudi mendengar, tangan yang sudi menuntun.

Pesan untuk pembaca: Jika kamu atau seseorang yang kamu kenal sedang berjuang dengan rasa bersalah, cemburu, atau pikiran untuk bunuh diri, bicaralah dengan seseorang yang dapat dipercaya — keluarga, pemimpin agama, atau profesional kesehatan mental. Bantuan itu nyata, dan meminta bantuan bukan tanda kelemahan. Jika situasinya mendesak dan ada bahaya segera, hubungi layanan darurat setempat. Jangan berjalan sendiri dalam kegelapan.fs