BerdayaNews.com, Bekasi — Di dunia yang semakin riuh oleh opini dan algoritma, kebenaran kini bukan lagi tentang siapa yang memiliki data paling akurat, melainkan siapa yang paling cepat, paling nyaring, dan paling meyakinkan menyebarkan versinya. Inilah wajah baru komunikasi publik: pertarungan narasi di era post-truth, di mana persepsi sering kali lebih kuat daripada realitas.

Adegan monkey-bots dalam film Superman (2025) garapan James Gunn menggambarkan fenomena ini dengan cerdas. Ratusan monyet duduk di depan komputer, mengetik propaganda penuh kebencian tentang Superman. Konyol, tapi sekaligus mengerikan. Satire ini seolah menelanjangi kenyataan kita hari ini—bahwa kebohongan bisa diproduksi massal oleh algoritma tanpa nurani, dan disebarkan seolah itu kebenaran.

Pertarungan Narasi, Pertarungan Makna

Dalam ruang digital yang dikendalikan oleh algoritma, kebenaran tak lagi berdiri di atas fakta, melainkan di atas persepsi. Siapa yang lebih dulu menguasai ruang wacana, dialah yang membentuk opini publik. Di sinilah letak tantangan besar bagi humas pemerintah: bagaimana menjaga narasi publik tetap berlandaskan kebenaran di tengah derasnya arus disinformasi?

Kita sudah sering melihat contohnya. Sebuah unggahan anonim bisa mendadak viral, memelintir data, mengubah konteks, dan membangun kemarahan massal dalam hitungan jam. Padahal, klarifikasi resmi dari pemerintah sering kali sudah tersedia, lengkap dengan data dan penjelasan. Namun, di era emosi yang lebih dipercaya daripada logika, klarifikasi sering datang terlambat dan dianggap pembelaan semata.

Baca juga :  Hari Kesehatan Nasional 2025: Momentum Bangkitkan Kesadaran Hidup Sehat dan Nasionalisme Pegawai Samsat Bekasi

Humas Pemerintah dan Krisis Kepercayaan

Inilah tantangan utama humas pemerintah hari ini. Dari sisi publik berharap, mereka bukan lagi sekadar penyampai informasi, tetapi penjaga kepercayaan publik. Tantangan bukan hanya melawan hoaks, tetapi melawan rezim persepsi — situasi ketika kebenaran menjadi sekunder, dan emosi menjadi tolok ukur validitas. Kepuasan terhadap humas pemerintah tidak hanya diukur dari informasi yang disampaikan, tetapi dari rasa dihargai, didengar, dan dilibatkan.
Humas pemerintah idealnya menjadi wajah yang ramah, telinga yang mendengar, dan tangan yang tanggap — bukan sekadar corong kebijakan, melainkan penghubung kepercayaan antara pemerintah dan rakyat. “Pelayanan publik yang sejati tidak hanya menjawab pertanyaan rakyat, tetapi juga menenangkan keresahan dan menumbuhkan harapan.”

Pemerintah memang tidak tinggal diam. Program literasi digital nasional seperti Indonesia Makin Cakap Digital dan GNLD Siberkreasi terus digencarkan untuk membangun daya nalar digital masyarakat. Namun, literasi saja tidak cukup. Komunikasi publik perlu bergeser dari sekadar menjelaskan, menjadi upaya yang mampu menghidupkan proses dan menghadirkan makna. Namun demikian, literasi yang lebih tepat di zaman digital harus tetap diupayakan seperti Metode literasi kombinasi antara literasi digital, berpikir kritis, dan kolaborasi sosial berbasis komunitas.

Tujuannya bukan hanya agar orang bisa mengakses informasi, tapi juga memahami, menilai, dan menggunakan informasi secara bijak untuk kebaikan bersama.

Baca juga :  Wamen Dikdasmen Ingatkan: Pengelolaan Dana BOS Harus Transparan dan Akuntabel

Seperti kata Harold Lasswell dalam teori komunikasinya yang klasik: “Who says what, in which channel, to whom, with what effect.” Pesan yang efektif bukan hanya soal isi, tapi juga siapa yang menyampaikan, kepada siapa, dan dengan cara apa. Humas pemerintah perlu berbicara dengan bahasa yang manusiawi, bukan birokratis. Publik tidak sekadar ingin tahu, tapi ingin merasa didengar.

Teknologi, Empati, dan Nurani

Kecerdasan buatan (AI) kini membuka peluang besar dalam dunia kehumasan. Ia bisa membaca sentimen publik, merancang strategi komunikasi, bahkan memprediksi pola viralitas. Namun, seperti diingatkan Paus Fransiskus, “AI seharusnya melayani manusia, bukan menggantikannya.” Data dan algoritma tidak bisa menggantikan empati; kecepatan tidak bisa menandingi ketulusan.

Karena pada akhirnya, komunikasi bukan sekadar menyebarkan pesan, melainkan membangun makna bersama. Kebenaran mungkin kalah cepat dari kebohongan, tapi ia punya kekuatan lain: ketulusan yang konsisten. Dalam dunia yang penuh manipulasi dan ilusi digital, humas pemerintah punya tanggung jawab moral untuk memastikan bahwa narasi tetap berpihak pada nurani.

Baca juga :  Korupsi di Sekolah Makin Meresahkan: Dana BOS Jadi Sasaran Utama, Kepala Sekolah dalam Sorotan Nasional

Empati bukan sekadar kemampuan untuk memahami perasaan orang lain, tetapi juga keberanian untuk mendengar dengan hati, merespons dengan tulus, dan bertindak dengan kesadaran bahwa setiap kebijakan menyentuh kehidupan nyata masyarakat. Dalam konteks humas pemerintah, empati berarti menghadirkan komunikasi yang bukan hanya menjelaskan, tetapi juga menjembatani; bukan hanya menyampaikan data, tetapi juga menenangkan keresahan. Empati mengubah komunikasi dari sekadar proses penyampaian pesan menjadi ruang dialog yang hidup, di mana pemerintah dan masyarakat saling memahami, saling belajar, dan saling percaya. Dengan empati, setiap kata bukan lagi sekadar pernyataan resmi, melainkan wujud kepedulian yang membangun kepercayaan publik secara berkelanjutan.

Kebenaran yang Tidak Viral, Tapi Bertahan

Kita memang hidup di era di mana yang paling viral sering dianggap paling benar. Tapi justru karena itu, penting untuk menjaga ruang bagi kebenaran yang mungkin tidak viral—namun bertahan karena kejujuran. Di tengah gelombang manipulasi informasi, tugas humas pemerintah bukan sekadar “melawan hoaks”, melainkan menjaga agar publik tidak kehilangan arah di tengah kebisingan.

Sebab, bukan mesin yang menentukan arah sejarah, melainkan keberanian manusia untuk berpikir jernih dan bertindak etis.fs

Penulis: Ir.Fillan Samosir/Pimred BerdayaNews.com