Oleh: Angginak Sepi Wanimbo – Pegiat Literasi Papua, Penggagas Gerakan Literasi Mencerdaskan Anak Negeri Pegunungan Papua (GLMANPP)

WAMENA — Di tengah geliat pembangunan fisik yang marak di berbagai pelosok Tanah Papua Pegunungan, ada satu hal yang sering terlewatkan namun justru paling mendasar: pembangunan manusia melalui literasi dan pendidikan. Saya ingin menyuarakan keprihatinan sekaligus harapan agar pemerintah provinsi serta kabupaten/kota se-Lapago membangun perpustakaan buku di setiap daerah.

Selama ini, delapan kabupaten/kota di wilayah Lapago belum memiliki perpustakaan yang layak dan berfungsi dengan baik. Padahal, di balik tembok sekolah dan gereja, generasi muda Papua sedang berjuang keras untuk memahami dunia, menggali pengetahuan, dan membangun masa depan mereka sendiri.

Namun tanpa akses pada buku—tanpa ruang belajar yang hidup dan terbuka—anak-anak kita menjadi korban dari keterbatasan sistem. Mereka akhirnya hanya mengenal “belajar instan”: menyalin dari Google, menyalin dari media sosial, tanpa melalui proses berpikir dan memahami.

Kita tahu, pengetahuan tidak tumbuh dari salinan, tetapi dari pemahaman.
Bagaimana mungkin lahir pemimpin, guru, atau intelektual sejati jika proses belajar hanya sebatas “copy paste”?

Baca juga :  Opini Hukum: Gugatan untuk Membatalkan Keputusan Bebas Bersyarat dan Meminta Agar Setia Novanto Kembali Menjalani Sisa Hukuman

Perpustakaan: Simbol Kemajuan Manusia, Bukan Sekadar Gedung Buku

Pemerintah daerah sering membanggakan pembangunan jalan, jembatan, kantor, dan pasar. Namun pertanyaan mendasarnya adalah: siapa yang akan mengelola semua itu jika manusia di dalamnya tidak dibangun dengan baik?

Perpustakaan adalah jantung peradaban. Ia bukan hanya tempat menyimpan buku, tapi ruang dialog antara pikiran, pengetahuan, dan cita-cita manusia.
Sayangnya, banyak perpustakaan daerah di Papua Pegunungan hanya ada di papan nama dinas. Tidak ada program nyata, tidak ada pembaharuan koleksi, tidak ada kegiatan yang menghidupkan budaya membaca.

Padahal, jika setiap kepala daerah memberi perhatian khusus pada pembangunan perpustakaan dan pengadaan buku bacaan yang sesuai dengan kebutuhan lokal—pertanian, budaya, kesehatan, sejarah Papua—maka kemajuan manusia di wilayah ini akan melesat pesat.

Gerakan Literasi dari Dusun ke Kota

Kami di Gerakan Literasi Mencerdaskan Anak Negeri Pegunungan Papua (GLMANPP) tidak tinggal diam. Anak-anak muda dari delapan kabupaten kini bergerak dari dusun ke kota, membawa buku ke tangan-tangan yang haus pengetahuan.
Gerakan ini lahir dari keyakinan bahwa perubahan besar selalu dimulai dari tindakan kecil—dari satu buku yang dibaca, dari satu anak yang melek huruf, dari satu pikiran yang tercerahkan.

Baca juga :  Nepotisme di Daerah dan Bahaya Birokrasi yang Dikuasai Keluarga dan Tantangan Bagi Penegak Hukum

Karena itu, saya meminta pemerintah daerah memberikan dukungan penuh kepada setiap komunitas literasi lokal. Mereka bukan pesaing, melainkan mitra strategis pemerintah dalam membangun kualitas sumber daya manusia.

Gereja, tokoh masyarakat, kader, dan intelektual Papua harus bersatu dalam cita-cita besar ini: menolong yang belum tertolong, mencerdaskan yang belum tersentuh cahaya pengetahuan.

Dana Desa dan Arah Pembangunan Manusia

Saya mengapresiasi setiap kepala kampung yang berjuang menggunakan dana pembangunan desa. Namun saya belum melihat ada inisiatif nyata untuk menyisihkan sebagian dana tersebut untuk pengadaan buku bacaan bagi pelajar dan mahasiswa di kampung.
Sebagian besar dana masih digunakan untuk pembagian uang tunai atau kegiatan fisik jangka pendek.

Padahal, investasi terbesar bukan pada uang yang dibagi, tetapi pada ilmu yang diwariskan.
Masyarakat yang gemar membaca akan menjadi masyarakat yang berpikir kritis, mandiri, dan berdaya.

Jika setiap kepala kampung mau mengalokasikan sebagian kecil dana desa untuk membeli buku—buku tentang sains, agama, teknologi, pertanian, dan budaya lokal—maka anak-anak Papua Pegunungan tidak perlu jauh-jauh mencari pengetahuan di kota.

Baca juga :  Saat Persepsi Mengalahkan Fakta: Peran Humas di Era Post-Truth

Budaya Membaca: Jalan Menuju Kemandirian Papua

Kita harus jujur, budaya membaca di Papua masih rendah. Namun perubahan harus dimulai dari rumah, dari keluarga, dari kebiasaan orang tua yang mengajak anaknya membaca.

Saya ingin mengajak seluruh orang tua Papua: sisihkan sedikit uang untuk membeli buku. Buku bukan kemewahan, tetapi investasi masa depan. Orang yang gemar membaca dan berpikir adalah orang yang paling kaya di muka bumi ini—karena kekayaannya tidak bisa dicuri siapa pun.

Penutup: Membangun Manusia Sebelum Bangunan

Program pembangunan infrastruktur boleh berjalan, tetapi jangan lupakan pembangunan manusianya.
Kita bisa membangun gedung tinggi, tapi tanpa manusia cerdas di dalamnya, semua itu hanya ruang kosong tanpa makna.

Papua Pegunungan harus memulai prioritas baru: nomor satukan pembangunan manusia.
Bangun perpustakaan di setiap kabupaten dan kampung. Hidupkan budaya membaca. Dorong komunitas literasi.
Karena dari buku, kita akan menemukan jati diri kita sebagai manusia yang berpikir, beriman, dan berdaulat atas masa depan sendiri.fs