BerdayaNews.com, Indonesia — Pemandangan pejabat tinggi turun langsung ke lapangan—dari presiden, menteri, gubernur hingga bupati—kian menjadi tontonan rutin dalam dinamika politik Indonesia. Blusukan, inspeksi mendadak, sidak pasar, bahkan memastikan jalan rusak sudah dilapisi aspal, kini dianggap sebagai simbol kepedulian. Namun jika dicermati lebih dalam, semua ini justru menjadi cermin dari sebuah persoalan yang jauh lebih serius: negara belum memiliki birokrasi yang bisa dipercaya tanpa kehadiran kamera dan pengawasan pejabat pusat.

Sebab sejatinya, apabila laporan pejabat di bawah akurat, data valid, dan mekanisme kontrol berjalan efektif, seorang presiden tidak perlu mengecek harga cabai, menteri tak perlu menginspeksi proyek kecil, dan kepala daerah tak perlu setiap saat memeriksa bantuan. Negara maju tidak dibangun dengan pola supervisi personal semacam ini—dan Indonesia pun seharusnya tidak.

Birokrasi yang Tidak Jujur dan Budaya ABS yang Mengakar

Kondisi ini diperparah oleh budaya lama yang tak pernah benar-benar mati: ABS—Asal Bapak Senang. Laporan dibuat indah, masalah dipoles, dan setiap angka disesuaikan agar tampak sejalan dengan narasi sukses pimpinan. Ketakutan bawahan untuk menyampaikan fakta dan kecenderungan atasan menerima laporan manis demi stabilitas politik membuat birokrasi kehilangan integritas.

Baca juga :  Sekda Bekasi Kukuhkan PAW dan Anggota Baru FKUB, Tegaskan Fondasi Kerukunan sebagai Syarat Utama Good Governance

Fenomena ini terus bertahan karena:

  1. Tidak ada sanksi tegas bagi aparatur yang memanipulasi laporan.

  2. Pengawasan internal lemah, sekadar administratif.

  3. Hubungan atasan–bawahan saling melindungi demi kepentingan citra lembaga.

  4. Kepentingan politik, terutama menjelang pemilu, yang mengutamakan pencitraan daripada kebenaran.

Akibatnya, kebenaran menjadi ancaman. Administrasi negara berjalan bukan berdasarkan data faktual, melainkan atas ilusi keberhasilan yang dibangun dari laporan yang tak dapat diverifikasi.

Pemimpin Turun Lapangan: Kerja Nyata atau Panggung Politik?

Setiap kali pejabat turun lapangan, publik selalu terbagi dua:
• ada yang melihatnya sebagai bentuk ketulusan,
• ada pula yang menilainya sebagai panggung politik.

Tidak bisa dipungkiri, dalam era media sosial, kehadiran fisik jauh lebih kuat sebagai strategi komunikasi ketimbang membangun mekanisme institusi. Kamera mudah menghadirkan narasi heroik; seolah tanpa pemimpin, negara tak berjalan.

Namun pertanyaannya:
Haruskah presiden atau menteri terus-menerus melakukan tugas teknis yang semestinya dikerjakan aparat birokrasi?

Faktanya, semakin sering pejabat turun, semakin terbaca bahwa sistem di bawahnya tidak bekerja. Pemerintahan yang sehat seharusnya ditopang oleh:

  • sistem monitoring digital yang akurat,

  • laporan berbasis data,

  • pengawas internal yang profesional,

  • aparatur yang jujur dan bertanggung jawab.

Baca juga :  Buka Pertandingan Voli Antar SMP Negeri se-Kota Bekasi, Tri Adhianto Fokuskan Cari Bibit Atlet Voli Untuk Kota Bekasi.

Ketika semua itu berjalan, pemimpin cukup mengarahkan, bukan menjadi pengawas proyek harian.

Politik Kita Terlalu Bergantung pada Figur, Bukan Institusi

Akar masalahnya lebih mendalam: politik Indonesia masih berpusat pada figur, bukan pada institusi.
Publik memuja pemimpin yang rajin turun ke lapangan, sementara elite politik menggantungkan popularitas pada aktivitas simbolik tersebut.

Negara pun berjalan seperti perusahaan keluarga besar: kinerja bergantung pada satu tokoh yang dominan. Selama ini terus berlangsung:

  • laporan akan terus ABS,

  • kebijakan tidak berbasis data,

  • masalah terlambat muncul ke permukaan,

  • solusi bersifat reaktif,

  • pembangunan tidak pernah menjadi kebijakan sistemik.

Birokrasi yang Direkrut karena Loyalitas Politik

Masalah menjadi lengkap ketika promosi jabatan lebih mengutamakan loyalitas ketimbang kompetensi. Aparatur profesional tersingkir, sementara mereka yang “aman” secara politik naik ke posisi strategis.

Konsekuensinya:

  • laporan dipoles demi mempertahankan jabatan,

  • inovasi tidak dihargai,

  • kritik dianggap pembangkangan,

  • integritas tergerus oleh tuntutan loyalitas.

Ketika birokrasi terkontaminasi kepentingan politik, mustahil bagi pemerintah membangun sistem data yang jujur.

Baca juga :  Banjir Serentak di Koridor Bukit Barisan, Konvergensi Krisis Biologis, Forestry, dan Kimia Atmosfer

Indonesia Perlu Pemerintahan Berbasis Data, Bukan Drama

Pemerintahan yang kuat seharusnya berjalan meski pemimpinnya tidak hadir secara fisik di lapangan. Fenomena blusukan dan sidak yang berlebihan hari ini justru menjadi alarm keras bahwa:

  • data tidak akurat,

  • sistem tidak berjalan,

  • birokrasi tidak dapat dipercaya,

  • politik terlalu penuh sandiwara,

  • pembangunan lebih banyak diatur sebagai pertunjukan publik.

Dari pusat hingga daerah, Indonesia membutuhkan revolusi budaya birokrasi—bukan sekadar pemimpin yang rajin tampil di publik.

Karena negara tidak boleh berjalan di atas kamera.
Negara harus berjalan di atas data, integritas, dan keberanian menyampaikan kenyataan.fs