Perspektif Hukum Lingkungan dan Pidana atas Bencana Hidrometeorologi di Sumatera Oleh Tim Hukum BerdayaNews.com
BerdayaNews.com — Bencana alam besar yang berulang di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat, khususnya banjir bandang, hujan ekstrem, dan longsor massif, bukan lagi fenomena “murni alamiah”. Ia adalah bencana antropogenik — tragedi yang lahir dari rusaknya sistem ekologis di hulu, terutama akibat deforestasi dan aktivitas industri ekstraktif. Di sinilah hukum harus bekerja bukan hanya sebagai palu penghukum, tetapi juga sebagai mandat pemulihan.
Hutan sebagai Infrastrukur Alami yang Dilindas
Hutan primer di lereng Bukit Barisan dan kawasan Daerah Aliran Sungai (DAS) berfungsi sebagai regulator hidrologi, menyerap 70–90% curah hujan, menahan laju aliran permukaan, dan melepas kelembapan ke atmosfer secara stabil. Saat ekosistem ini dirobohkan oleh pembukaan lahan, pembakaran, pembuatan kanal gambut, dan pengupasan lereng tambang, terjadi dua distorsi sekaligus:
-
Sungai kehilangan kapasitas tampung akibat sedimentasi,
-
Atmosfer lokal menjadi lebih panas dan lembap secara cepat, memperkuat konveksi dan mempertebal awan hujan.
Akibatnya, hujan menjadi jauh lebih lebat dan drop dalam waktu singkat, sementara sungai sudah terlalu lemah untuk menahan. Maka banjir yang datang bukan lagi limpasan air, melainkan gelombang bencana.
Pertanggungjawaban Pidana: Korporasi sebagai Subjek Utama

UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) menegaskan bahwa perusahaan bukan hanya entitas ekonomi, tetapi subjek pidana. Pasal 98 dan 99 mengatur bahwa:
-
Kerusakan lingkungan akibat kesengajaan yang mengancam nyawa dapat dipidana dengan penjara maksimal 10 tahun dan denda hingga Rp10 miliar,
-
Kelalaian yang menyebabkan kerusakan serius termasuk menciptakan kondisi bencana, juga merupakan delik pidana.
Lebih lanjut, Pasal 116 mempertegas pidana jabatan, yakni bahwa direksi, CEO, manajer operasional, hingga penanggung jawab lapangan dapat dipidana pribadi apabila terbukti memiliki kuasa pencegahan tetapi membiarkan kerusakan terjadi.
Di banyak kasus konsesi di Sumatera, tudingan WALHI mengarah pada pembukaan kawasan hutan tanpa izin lingkungan yang sah, pengabaian AMDAL, dan model operasi yang meruntuhkan fungsi DAS. Jika tuduhan ini terbukti dalam proses hukum, maka pimpinan korporasi adalah pihak yang patut memikul hukuman yang paling setimpal.
Pejabat Negara: Pertanggungjawaban Bisa Lebih Berat, Jika Ada Mens Rea
Tanggung jawab pemerintah pada prinsipnya adalah preventif dan administratif. Tetapi jika ditemukan bukti:
-
Suap atau gratifikasi dalam penerbitan izin,
-
AMDAL yang dimanipulasi, atau
-
Penyalahgunaan wewenang untuk meloloskan konsesi di kawasan lindung,
maka pertanggungjawaban bisa berubah menjadi kejahatan jabatan dan masuk rezim pidana korupsi (UU Tipikor), yang ancaman hukumannya lebih berat daripada pidana lingkungan.
Namun, tanpa pembuktian niat jahat (mens rea), kolusi, atau aliran suap, aparat/pejabat belum otomatis menjadi lapisan pemikul pidana utama. Dalam hukum pidana, hukuman harus menyasar aktor dengan perbuatan paling dominan meruntuhkan sistem ekologis dan memiliki kendali tertinggi dalam keputusan operasional — dan dalam konteks bencana turunan kerusakan hutan, itu adalah korporasi dan pemimpinnya.
Prinsip Hukum Lingkungan Modern yang Mesti Ditegakkan
Ada 4 prinsip utama yang seharusnya menjadi arah penegakan pidana lingkungan dalam kasus ini:
-
Corporate Criminal Liability → Perusahaan adalah subjek pidana
-
Polluter Pays Principle → Perusak harus membayar dan memulihkan
-
Strict Liability → Bisa dihukum atas kerusakan serius meski tanpa korban langsung
-
Ecological Restoration Mandatory → Putusan harus memaksa pemulihan bentang alam hulu
Hukuman paling setimpal bukan hanya penjara dan denda, tetapi juga vonis pemulihan alam secara paksa — mewajibkan reforestasi, restorasi gambut, dan rehabilitasi DAS oleh pelaku usaha, diawasi negara, dengan tenggat dan indikator keberhasilan yang jelas.
Bencana Ini Semestinya Menjadi Titik Balik
Jika Indonesia ingin serius menempatkan keselamatan lingkungan di atas keuntungan sesaat, maka perusakan hutan di Sumatera harus dilihat sebagai kejahatan terhadap sistem kehidupan, bukan hanya pelanggaran administratif.
Yang paling bertanggung jawab secara pidana, dan paling layak dihukum setimpal menurut undang-undang adalah:
(1) Korporasi pemegang konsesi/perusak sistem hidrologi di hulu, dan
(2) Direksi serta penanggung jawab operasionalnya.
Bila ada bukti korupsi izin, negara juga wajib menjerat pejabat yang terlibat. Tetapi jantung pidana lingkungan tetap pada pelaku yang meruntuhkan fungsi hutan dan DAS, yakni korporasi dan pucuk pimpinannya.
Jika Hukum Ekologi Tidak Dijalankan: Alam Menjadi Saksi, Politik Menjadi Tersangka
Undang-undang lingkungan seperti UU 32/2009 PPLH tidak lahir sekadar sebagai teks legal formal, melainkan sebagai kontrak negara terhadap kelangsungan hidup rakyat dan stabilitas ekologis Nusantara. Ketika hukum itu tidak dijalankan, maka bukan hanya hutan yang kehilangan perlindungan — negara juga kehilangan legitimasi moral, administratif, dan bahkan kepercayaan politiknya.
Efek Ekologis yang Terjadi Bila Hukum Tak Ditegakkan
-
Banjir bandang menjadi siklus tahunan, bukan pengecualian
-
Tanpa pemulihan hulu dan pengendalian konsesi, DAS kehilangan fungsi penyangga secara permanen, membuat curah hujan biasa berubah menjadi malapetaka.
-
Infrastruktur publik rusak berulang, biaya bencana membengkak, dan negara terjebak pada ekonomi darurat (disaster economy).
-
-
Subsidence gambut dan hilangnya air tanah
-
Area gambut yang dikeringkan tidak pernah dipulihkan akan turun 5–10 cm per tahun, menyebabkan daratan hilir makin rendah dan semakin mudah tergenang.
-
Desa-desa di pesisir, termasuk Aceh dan Sumut, masuk kategori rentan hilang secara ekologis dalam beberapa dekade.
-
-
Krisis biodiversitas dan punahnya spesies kunci
-
Satwa penyeimbang seperti orangutan Tapanuli, harimau Sumatera, dan gajah Aceh akan terus kehilangan habitat hingga mencapai titik irreversibel: punah lokal dan lalu punah total.
-
Hilangnya spesies kunci merontokkan jejaring ekologi yang menjaga regenerasi hutan dan keseimbangan iklim.
-
-
Hujan ekstrem makin tidak terprediksi
-
Lahan terbuka tanpa kanopi memanaskan atmosfer lokal, meningkatkan uap air tiba-tiba, dan menciptakan awan hujan super tebal dalam durasi singkat.
-
Perubahan iklim lokal menjadi lebih cepat terjadi dibanding mitigasi global.
-
-
Polusi udara, air, dan tanah menjadi ancaman kesehatan jangka panjang
-
Tanpa mekanisme polluter pays, limbah kimia, abu bakar, dan run-off pestisida akan menciptakan kondisi toxic watershed, daerah aliran air beracun.
-
Efek Politik dan Konsekuensi Sosial-Politik Bila Pemerintah Abai
-
Runtuhnya kepercayaan publik terhadap negara
-
Rakyat melihat perusak lingkungan diproses lambat atau bahkan dibiarkan, sementara korban banjir dan longsor semakin banyak.
-
Ini memicu narasi bahwa negara tunduk pada korporasi, bukan pada konstitusi dan keselamatan ekologis.
-
-
Meningkatnya konflik agraria dan gerakan perlawanan sipil
-
WALHI, masyarakat adat, dan LSM lingkungan akan memperluas tekanan lewat class action, citizen lawsuit, dan mobilisasi massa.
-
Bila tetap diabaikan, akan muncul ekologi sebagai basis gerakan politik oposisi di akar rumput.
-
-
Isu lingkungan menjadi komoditas politik elektoral
-
Elite politik yang kritis akan menggunakan kerusakan hutan Sumatera sebagai amunisi kampanye melawan penguasa.
-
Lingkungan berubah dari isu konservasi menjadi isu delegitimasi kekuasaan.
-
-
Lahirnya “political liability” akibat “ecological negligence”
-
Pembiaran bencana membuat pemerintah menghadapi risiko dituding bersalah secara politik meski bukan pelaku pidana langsung.
-
Narasi publik menggiring opini bahwa aparat dan pengambil kebijakan adalah bagian dari kartel pembiaran lingkungan.
-
-
Instabilitas daerah
-
Sumatera memiliki basis masyarakat adat dan aktivisme lingkungan yang kuat.
-
Jika bencana terus terjadi sementara hukum abai, risiko yang muncul:
-
demonstrasi besar antar-provinsi
-
penolakan negara di kawasan adat
-
hubungan pusat-daerah melemah
-
-
Potensi ketegangan politik kawasan meningkat, terutama di Aceh yang secara historis sensitif pada isu ketidakadilan pusat-daerah.
-
Efek Geopolitik dan Politik Internasional Bila Hukum Tak Ditegakkan
-
Sorotan global terhadap investasi Indonesia
-
Indonesia bisa masuk persepsi sebagai wilayah dengan high ecological risk dan low enforcement integrity.
-
Ini membuat investor terbelah:
-
Investor hijau kabur,
-
Investor ekstraktif masuk karena melihat lemahnya penegakan hukum sebagai peluang.
-
-
-
Tekanan diplomatik pada isu iklim
-
Target NDC karbon Indonesia akan dianggap retorika kosong, memperlemah posisi Indonesia di forum COP dan G20.
-
-
Bantuan bencana naik, tapi kredibilitas turun
-
Dunia mungkin membantu saat banjir besar, tapi bersamaan menilai Indonesia gagal menjalankan ecological rule of law.
-
Akar Buta dari Semua Ini: Hukum Tidak Dijalankan Sama Saja Dengan Hutan Tidak Dilindungi
Ketika pemerintah tidak menjalankan hukum ekologi, konsekuensinya:
| Ranah | Dampak yang mungkin terjadi |
| Ekologi | Bencana makin sering, degradasi permanen, punah, krisis air beracun |
| Sosial | Desa hilang, konflik agraria, kesehatan rakyat turun |
| Politik Nasional | Kepercayaan runtuh, isu lingkungan jadi senjata oposisi |
| Politik Daerah | Ketegangan pusat-daerah, resistensi adat |
| Politik Internasional | Diplomasi melemah, investor hijau pergi, Indonesia disorot |
Penegasan Opini:
“Negara yang tidak menegakkan hukum lingkungan tidak bisa hanya disebut lalai, ia sedang mempertaruhkan kedaulatan ekologisnya sendiri.”
“Membiarkan korporasi merusak hutan tanpa menjalankan mandat pemulihan sama saja dengan menyetujui bencana yang akan terus mencatat korban.”
Alam sudah berbicara lewat banjir. Sekarang hukum harus bicara lewat pengadilan.fs


