— “Bermimpilah besar, bertindaklah berani” bukan slogan; ini taruhan masa depan Indonesia.

Oleh: Redaksi BerdayaNews.com

Indonesia sering menyanjung figur besar, tapi lupa bahwa kebesaran hampir selalu berakar dari kesederhanaan. Di ruang kelas bercat kusam SD terpencil di pinggiran Cikarang, seorang guru honorer bernama Sutrisno dulu menuliskan di papan tulis rapuh sebuah kalimat yang ia yakini benar: “Besarkan mimpimu. Jangan takut memulai.” Ironisnya, saat itu ia sendiri hanya digaji cukup untuk ongkos motor dan makan siang. Ia bukan siapa-siapa. Tapi di situlah segalanya dimulai.

Mimpi besarnya sederhana namun radikal: tidak ada murid di sekolahnya yang bermimpi sekecil peluang yang mereka miliki. Ketika tak ada laboratorium sains, ia sulap ruang gudang menjadi tempat eksperimen. Ketika buku minim, ia ajak warga dan orang tua mendonasikan bacaan lewat kampanye media sosial seadanya. Ketika internet lambat, ia pinjamkan ponsel pribadinya agar murid bisa belajar coding dari video gratis dan modul buatan sendiri.

Momentum yang Mengubah Segalanya

Suatu hari, muridnya memenangkan lomba teknologi tingkat kabupaten dengan alat deteksi banjir berbasis sensor rakitan yang hampir seluruh komponennya dibeli dari pasar elektronik bekas. Berita itu, awalnya hanya catatan kecil di media lokal, kemudian bergulir cepat di lini masa nasional: “Anak kampung bikin alat murah yang bekerja nyata.”

Baca juga :  Dari Tiom, Melihat Dunia Lewat Buku, Menggerakkan Literasi di Kota di Atas Awan

Sorotan pun beralih ke gurunya. Keberanian itu menular, kerja keras itu terasa, dan mimpi besar itu terbukti terarah.

Dari Guru Honorer ke Penggerak Pendidikan Teknologi Nasional

Kini, satu dekade kemudian, Sutrisno bukan lagi guru honorer. Ia menjelma figur besar sebagai inisiator gerakan Teknologi untuk Semua Sekolah, bekerja bersama perguruan tinggi, komunitas robotik, dan filantropi pendidikan. Ia menginisiasi modul “IoT Murah untuk Sekolah Negeri”, melatih ribuan guru lewat lokakarya keliling, dan mendorong pemerintah daerah mereplikasi model sekolah inovatif tanpa menunggu anggaran besar.

Ia adalah bukti bahwa yang dibutuhkan Indonesia bukan hanya gagasan, tapi keberanian memulai meski dari fasilitas yang tampak hampir mustahil.

Inti Pesan yang Ia Perjuangkan

Jika korupsi merampas masa depan melalui tindakan, budaya gentar merampas masa depan melalui pembiaran. Sutrisno dulu menolak tunduk pada rasa takut itu. Ia percaya, visi harus diuji oleh ketekunan kerja, dan keberanian tidak boleh dipendekkan oleh kegagalan pertama.

Di tengah bonus demografi dan tantangan global, pertanyaan penting bukan lagi “Mampukah kita?” melainkan: “Siapakah yang cukup berani mengeksekusi sampai realitas berubah?”

Baca juga :  SMP Negeri 1 Setu: Sekolah Unggulan dengan Segudang Prestasi, Tetap Berbenah di Tengah Keterbatasan

Negeri ini digerakkan bukan oleh yang paling dipuji, tetapi oleh yang:

  • Berani memulai saat tidak ada panggung

  • Berani berbeda saat takut populer

  • Berani menuntaskan saat gagal lebih menggoda untuk dijadikan alasan

Ajakan Publik

Kisah kebesaran tidak dimulai dari gelar, dana, atau sorot lampu. Ia dimulai dari mimpi yang menolak mengecil dan keberanian yang menolak menghilang.

Jangan kecilkan mimpi agar sesuai dengan nyalimu.
Besarkan nyali agar sesuai dengan mimpimu.

Karena masa depan Indonesia bukan ditulis oleh pewaris mimpi, melainkan oleh para pencipta mimpi — yang memulainya dari langkah pertama yang berani, sekecil apa pun terlihatnya hari ini.fs