Oleh: Fillan Samosir

BerdayaNews.com — Ketika Antasari Azhar dilantik sebagai Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2007, publik menaruh harapan besar pada sosok jaksa tegas asal Pangkalpinang itu. Dengan rekam jejak panjang di kejaksaan dan reputasi sebagai penegak hukum yang tidak mudah diintervensi, Antasari hadir sebagai simbol perlawanan terhadap korupsi yang mengakar. Namun, dua tahun kemudian, karier cemerlang itu ambruk oleh sebuah kasus pembunuhan yang hingga kini masih menyisakan kontroversi.

Riwayat Hidup dan Karier: Dari Bangka ke Puncak Penegakan Hukum

Antasari Azhar lahir di Pangkalpinang, Bangka Belitung, pada 18 Maret 1953. Ia menempuh pendidikan hukum di Universitas Sriwijaya, kemudian melanjutkan studi magister di Jakarta. Karier kejaksaan dimulainya dari bawah, sebelum akhirnya menempati berbagai jabatan strategis:

  • Kepala Kejaksaan Negeri Prabumulih

  • Kepala Kejaksaan Negeri Jepara

  • Asisten Pidana Umum Kejaksaan Tinggi Sumatera Selatan

  • Ketua Ikatan Jaksa Indonesia

  • Direktur Penuntutan KPK

Dengan gaya memimpin yang keras kepala terhadap kecurangan dan dikenal menolak kompromi pada kekuatan politik mana pun, Antasari dianggap sebagai figur ideal untuk memimpin KPK pada masa genting 2007.

Kepemimpinan di KPK: Masa Keemasan dan Musuh-Musuh Besar

Selama memimpin KPK (2007–2009), institusi antirasuah ini melaju agresif. Di bawah kepemimpinan Antasari, KPK menangani berbagai kasus kelas kakap yang tidak pernah tersentuh sebelumnya seperti;

  • Kasus suap Jaksa Urip – Artalyta Suryani (Ayin)

  • Percepatan investigasi skandal BLBI dan Bank Century

  • Pengungkapan kasus korupsi di Kejaksaan Agung, MA, DPR, dan kementerian

  • Penangkapan pejabat tinggi dan pengusaha berpengaruh

Baca juga :  BPK Ungkap Carut-Marut Aset PSU Kabupaten Cirebon, Potensi Kerugian Negara Tembus Rp125 Miliar Lebih

Langkah-langkah ini membuat KPK berada di titik puncak keberaniannya. Namun pada saat yang sama, Antasari juga mengumpulkan musuh—baik dari elite politik maupun aparat penegak hukum yang tersentuh operasinya.

Konteks politik pada 2008–2009 berada dalam tekanan tinggi. KPK sedang membidik jaringan korupsi yang melibatkan tokoh-tokoh penting negara. Dalam situasi panas tersebut, tragedi yang mengguncang pun terjadi.

Tragedi Nasrudin Zulkarnaen: Awal Kejanggalan

Pada Mei 2009, publik terperanjat oleh kematian Nasrudin Zulkarnaen, direktur PT Putra Rajawali Banjaran, yang ditembak oleh dua orang tak dikenal seusai bermain golf di Tangerang.

Tidak lama kemudian, polisi menetapkan Antasari sebagai tersangka. Tuduhan itu mengejutkan negara: Ketua KPK aktif diterpa kasus pembunuhan berencana.

Jaksa menyebut motifnya adalah cemburu dan ancaman pengungkapan hubungan Antasari dengan seorang perempuan bernama Rani Juliani, yang disebut sebagai istri siri Nasrudin. Namun banyak pengamat menganggap skenario tersebut terlalu sederhana dan tidak masuk akal ketika dipasangkan dengan posisi Antasari sebagai pimpinan lembaga paling antikorupsi di Indonesia.

Baca juga :  Pemkot Bekasi Perkuat Fondasi Smart City Lewat Ducting Bawah Tanah, Ini Langkah-Langkah yang Akan Dilakukan

Dugaan Rekayasa & Motif Politik

Sejak awal, sejumlah ahli hukum, aktivis, hingga mantan penyidik KPK mencium aroma aneh dalam penanganan perkara ini:

  • Proses penyidikan dianggap tidak wajar

  • Bukti yang disajikan dinilai lemah

  • Motif pribadi terlihat dipaksakan

  • Konteks politik pemberantasan korupsi kala itu terlalu sensitif

Ketika Antasari ditahan, banyak kasus besar KPK yang sebelumnya bergerak cepat mendadak berjalan lambat. Penyidikan beberapa kasus strategis bahkan terhenti total. Sebagian pihak melihat ini sebagai “hasil samping” yang sangat menguntungkan bagi kelompok-kelompok yang ingin melemahkan KPK.

Antasari sendiri, setelah bebas, menyatakan:

“Saya dijatuhkan karena terlalu berani. Kasus ini dibuat agar saya diam.”

Pernyataan itu memperkuat dugaan publik bahwa ia adalah korban kriminalisasi politik.

Masa Hukuman, Grasi, dan Upaya Pemulihan Nama

Antasari dijatuhi hukuman 18 tahun penjara. Namun setelah menjalani 8 tahun, pada 2017 Presiden Joko Widodo memberikan grasi, memangkas sisa masa hukumannya. Meskipun grasi tidak menghapus status hukumnya, langkah tersebut dipandang oleh banyak pengamat sebagai isyarat moral bahwa terdapat ketidakberesan dalam penanganan kasusnya.

Baca juga :  Dugaan Korupsi Dana Hibah Atlet Difabel Bekasi Rp 7 Miliar, 2 Pengurus NPCI Jadi Tersangka

Pasca-bebas, Antasari aktif berbicara di ruang publik. Ia membahas korupsi, manipulasi hukum, hingga pengalaman pribadinya menghadapi sistem peradilan yang menurutnya penuh permainan kekuasaan.

Refleksi: Seorang Pejuang atau Korban?

Hingga kini, kasus Antasari masih menyisakan dua wajah dalam sejarah hukum Indonesia:

  • Antasari sebagai pelaku: berdasarkan putusan pengadilan yang secara hukum sah.

  • Antasari sebagai korban politik: berdasarkan dugaan kuat bahwa ia dijebak akibat agresivitas KPK di masa kepemimpinannya.

Kasus ini menjadi simbol bahwa pemberantasan korupsi di Indonesia tidak pernah steril dari intrik politik, ancaman kekuasaan, dan upaya pembungkaman.

Pada akhirnya, sejarah akan menentukan bagaimana Antasari dikenang—apakah sebagai penegak hukum yang terjatuh oleh skandal kriminal, atau sebagai korban dari kekuatan besar yang berusaha melumpuhkan lembaga antikorupsi yang ia pimpin dengan keberanian. Antasari Azhar meninggal dunia di usai 72 tahun karena sakit pada Sabtu (8/11/2025).fs