Oleh: Ir. Fillan Samosir
Pengamat Kebijakan Publik dan Aktivis Antikorupsi LSM Rakyat Indonesia Berdaya (RIB)
Kasus korupsi yang kembali menjerat kepala daerah, termasuk Gubernur Riau, memperlihatkan betapa lemahnya sistem pengawasan internal di pemerintahan daerah. Lembaga yang seharusnya menjadi benteng pertama pencegahan, yakni Inspektorat Daerah, justru sering absen dalam mendeteksi penyimpangan sejak dini. Padahal, mereka memiliki peran strategis sebagai pengawas utama jalannya roda pemerintahan.
Kelemahan utama Inspektorat Daerah terletak pada struktur dan independensinya. Secara organisasi, Inspektorat berada langsung di bawah kepala daerah — orang yang justru menjadi objek pengawasan. Posisi ini menciptakan benturan kepentingan serius. Ketika pengawas berada di bawah kendali pihak yang diawasi, hasil pengawasan sering kali tidak objektif. Tidak jarang temuan yang menyentuh kepentingan pimpinan daerah disesuaikan, bahkan diabaikan demi keamanan jabatan. Akibatnya, Inspektorat kehilangan wibawa dan keberaniannya untuk bersikap tegas.
Selain itu, kapasitas dan profesionalitas auditor daerah masih terbatas. Banyak Inspektorat di kabupaten dan kota kekurangan auditor bersertifikat, kurang memahami audit berbasis risiko, dan minim peralatan audit modern. Pengawasan yang seharusnya berbasis analisis substantif sering kali berubah menjadi kegiatan administratif: memeriksa dokumen tanpa melihat fakta lapangan. Dalam kondisi ini, penyimpangan proyek atau manipulasi anggaran bisa dengan mudah lolos tanpa deteksi.
Faktor lain yang memperlemah Inspektorat adalah budaya birokrasi yang belum sehat. Banyak pejabat pengawas berasal dari lingkungan yang sama dengan pejabat yang diawasi. Hubungan sosial dan rasa sungkan membuat pengawasan kehilangan ketajaman. “Jaga perasaan” sering kali lebih kuat daripada “jaga integritas.” Apalagi, tanpa dukungan politik dan anggaran yang memadai, Inspektorat tidak punya daya tawar kuat di tengah dominasi dinas-dinas besar seperti PUPR atau Dinas Pendidikan.
Padahal, di tengah maraknya korupsi proyek dan penyalahgunaan anggaran, pengawasan internal semestinya menjadi garda terdepan pencegahan. Jika Inspektorat berfungsi efektif, KPK tidak perlu sering turun tangan ke daerah untuk melakukan OTT. Sayangnya, lemahnya independensi dan minimnya keberanian membuat Inspektorat kerap hanya menjadi lembaga formalitas — mencatat, melapor, lalu diam.
Perbaikan Sistem yang Ada
Untuk membenahi kondisi ini, reformasi sistem pengawasan daerah tidak bisa ditunda lagi. Beberapa langkah konkret perlu segera dilakukan:
-
Reposisi Struktural Inspektorat
Inspektorat perlu diposisikan langsung di bawah Presiden melalui Kementerian PAN-RB atau BPKP, bukan lagi di bawah kepala daerah. Model ini akan menghapus konflik kepentingan dan memberi ruang bagi Inspektorat bekerja secara independen tanpa tekanan politik lokal. -
Penguatan Kompetensi dan Sertifikasi Auditor
Pemerintah harus memastikan seluruh auditor daerah memiliki sertifikasi profesional (seperti Certified Internal Auditor atau APIP Level 3 ke atas). Pelatihan intensif berbasis risiko dan teknologi audit digital juga mutlak diperlukan agar pengawasan tak hanya bersifat administratif, tetapi juga analitis dan prediktif. -
Sistem Reward and Punishment yang Tegas
Auditor yang terbukti menyembunyikan temuan harus diberi sanksi berat, sementara auditor yang berani membuka kasus penyimpangan patut diberi penghargaan. Hal ini akan menumbuhkan keberanian moral dalam budaya pengawasan. -
Transparansi Publik dan Kolaborasi Sosial
Hasil audit Inspektorat harus dipublikasikan sebagian (tanpa melanggar kerahasiaan negara) agar masyarakat dapat ikut mengawasi. Kolaborasi dengan media, LSM, dan akademisi perlu diperkuat agar pengawasan menjadi partisipatif dan terbuka. -
Pemanfaatan Teknologi Pengawasan Terintegrasi
Penggunaan e-audit system, dashboard monitoring keuangan daerah, dan integrasi data antara BPKP, Kemenkeu, dan Inspektorat perlu segera diwujudkan. Sistem digital akan meminimalkan celah manipulasi dan mempercepat deteksi dini terhadap penyimpangan anggaran.
Asta Cita Presiden Prabowo Subianto
Langkah-langkah perbaikan ini sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto–Gibran Rakabuming Raka, khususnya dalam poin:
-
Asta Cita ke-7: “Mewujudkan pemerintahan yang efektif, bersih, dan bebas korupsi.”
Reformasi Inspektorat merupakan bentuk konkret penerapan prinsip pemerintahan yang transparan, akuntabel, dan berintegritas. Penguatan pengawasan internal mendukung terwujudnya sistem birokrasi yang bersih dari praktik koruptif di semua tingkatan pemerintahan. -
Asta Cita ke-8: “Meningkatkan efisiensi birokrasi, pelayanan publik, dan penegakan hukum yang berkeadilan.”
Peningkatan kapasitas dan teknologi audit daerah akan mempercepat proses birokrasi, menekan pemborosan anggaran, dan menjamin keadilan dalam pengawasan serta penegakan hukum administratif.
Dengan memperkuat fungsi Inspektorat sesuai arah kebijakan nasional dalam Asta Cita, pemerintah daerah tidak hanya menjalankan amanat otonomi, tetapi juga memastikan prinsip good governance berjalan nyata di tingkat lokal. Pengawasan bukan sekadar formalitas administratif, melainkan instrumen penting menuju pemerintahan yang berdaulat, efisien, dan berpihak pada kepentingan rakyat.
Penutup
Pengawasan internal adalah fondasi utama pemerintahan yang bersih dan berintegritas. Namun selama Inspektorat tetap takut pada yang diawasi, maka korupsi akan terus menemukan ruangnya di setiap proyek dan kebijakan. Kita membutuhkan pengawas yang berani, independen, dan profesional, bukan sekadar penulis laporan di meja birokrasi.
Perbaikan sistem pengawasan bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga tuntutan moral dan pelaksanaan nyata dari Asta Cita Presiden Prabowo Subianto untuk membangun Indonesia yang kuat, adil, dan bermartabat di hadapan rakyatnya.fs


